Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute Josephson America dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik dalam memberikan pelayanan, antara lain adalah sebagai berikut:
Prinsip dimaksud antara lain:
- Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan berbelit-belit;
- Integritas, berprinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral, dan tidak bermuka dua;
- Memegang janji. Memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak;
- Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
- Adil. Memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi dan menerima perbedaan serta berpikiran terbuka;
- Perhatian. Memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan kasih sayang, memberikan kebaikan dalam pelayanan;
- Hormat. Orang yang etis memberikan penghormatan terhadap martabat manusia privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap orang;
- Kewarganegaraan, kaum profesional sektor publik mempunyai tanggung jawab untuk menghormati dan menghargai serta mendorong pembuatan keputusan yang demokratis;
- Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas pekerjaannya, dan seorang professional publik harus berpengetahuan dan siap melaksanakan wewenang publik;
- Akuntabilitas. Orang yang etis menerima tanggung jawab atas keputusan, konsekuensi yang diduga dari dan kepastian mereka, dan memberi contoh kepada orang lain;
- Menjaga kepercayaan publik. Orang-orang yang berada disektor publik mempunyai kewajiban khusus untuk mempelopori dengan cara mencontohkan untuk menjaga dan meningkatkan integritas dan reputasi prosses legislatif.
American Society for Public Administration (ASPA), pada tahun 1981 mengembangkan kode etik pelayan publik sebagai berikut:
- Pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan kepada diri sendiri;
- Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat;
- Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai patokan;
- Manajemen yang efesien dan efektif adalah dasar bagi administrasi negara. Suversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Pegawai-pegawai bertanggung jawab untuk melaporkan jika ada tindakan penyimpangan;
- Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asasasas itikad yang baik akan didukung, dijalankan, dan dikembangkan;
- Perlindungan terhadap kepentingan rakyat adalah sangat penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritiasme yang merendahkan jabatan publik untuk keuntungan pribadi tidak dapat diterima;
- Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi, dan kasih sayang. Kita menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;
- Hati Nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda mora dalam kehidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tak bermoral (good and never justify immoral means);
- Para administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan tanggung jawab engan penuh dan tepat pada waktunya.
Nilai-nilai etika di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrasi publik dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah sikap, tindakan, perilaku dan pelayanan yang diberikannya itu dinilai baik atau buruk oleh publik.
Sejalan dengan penilaian tersebut Jabbra dan Dwivedi mengatakan bahwa untuk menjamin kinerja pegawai sesuai dengan standard dan untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan 5 macam akuntabilitas, yaitu:
Pertama, akuntabilitas administratif (organisasional). Dalam akuntabilitas ini, diperlukan adanya hubungan hirarkhis yang tegas diantara pusatpusat pertanggungjawaban dengan unit-unit di bawahnya. Hubunganhubungan hirarkhis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan-aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan jaringan informal. Prioritas pertanggungjawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti terus ke bawah, dan pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap menuruti perintah yang diberikan. Pelanggaran terhadap perintah akan diberikan peringatan mulai dari yang palig ringan sampai pemecatan;
Kedua, akuntabilitas legal. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari aparat pemerintah di badan legislatif dan/atau di depan makamah. Dalam hal pelanggaran kewajibankewajiban hukum ataupun ketidakmampuannya memenuhi keinginan legislatif, maka pertanggungjawaban aparat atas tindakan-tindakannya dapat dilakukan di depan pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undangundang (judicial review);
Ketiga, akuntabilitas politik. Para administrator yang terkait dengan kewajiban menjalankan tugastugasnya mengikuti adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumbersumber dan menjamin adanya kepatuhan pelaksanaan perintahperintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima tanggung jawab administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik;
Keempat, akuntabilitas profesional. Sehubungan dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional (seperti dokter, insinyur, pengacara, ekonom, akuntan, pekerja sosial dan sebagainya) mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Kalaupun mereka tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan mememperoleh masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepada kepentingan publik;
Kelima, akuntabilitas moral. Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang selayaknya bertanggungjawab secara moral atas tindakantindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah seharusnya diletakan pada prinsipprinsip moral dan etika sebagaimana diakui konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan.
Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, kata Wahyudi tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan di Indonesia.
Berkaitan dengan itu Harbani mengatakan bahwa untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat dilihat dari baik buruknya penerapan nilai-nilai sebagai berikut:
Pertama, efesiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara berhati-hati agar memberikan hasil yang sebesarbesarnya kepada publik. Dengan demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika birokrasi publik menjalankan tugas dan kewenangannya secara efesien.
Kedua, efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan tugastugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam mencapai tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik).
Ketiga, kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada publik harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan yang diberikan birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan.
Keempat, responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan tugasnya dinilai baik (etis) jika responsibel dan memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi.
Kelima, akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas dan kewenangan pelayanan publik. Birokrat yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa salah satu prinsip dalam pemerintahan adalah pelayanan, yaitu semangat untuk melayani masyarakat. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan suatu proses perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku birokrasi pelayan publik baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Dalam pelaksanaan kode etik tersebut, birokrasi publik harus bersikap terbuka, transparan, dan akuntabel, untuk mendorong pengamalan dan pelembagaan kode etik tersebut. Dalam hubungannya dengan pelayanan kepada masyarakat birokrasi publik jangan mengedepankan wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah peranan selaku pelayan publik, yang manifestasinya antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”; “mendorong, bukan menghambat”; “mempermudah, bukan mempersulit”; “sederhana, bukan berbelit-belit”.
Standar etika pelayanan publik yang diperlukan di sini adalah pemenuhan atau peruwujudan nilai-nilai atau normanorma sikap dan perilaku birokrasi publik dalam setiap pelayanan dan tindakannya, yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa birorasi pelayan publik sama sekali tidak memiliki standar etika pelayanan, akan tetapi dimensi pelaksanaan etika tersebut mungkin yang perlu ditingkatkan.
Belum ada tanggapan untuk "Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute Josephson America"
Post a Comment