I
Krisis
lingkungan bukan lagi sebagai ancaman masa depan. Tetapi telah menjadi realita
kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan kemampuan adaptasi
lingkungan. Pertumbuhan dan pertambahan kerusakan lingkungan (environmental
disasters) telah mencapai dimensi regional. Media global dan terus berdampak
secara dramatis. Kontekstualitas degradasi lingkungan menyandarkan adanya
bahaya fenomenal monumental yang mengancam lingkungan (Wijoyo, 1999 ; 1).
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm yang dihadiri
oleh wakil 110 negara (Siti Sundari Rangkuti, 2000:27) merupakan rasa
keprihatinan terhadap degradasi lingkungan.
Komprensi
Stockholm, bermula dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengadakan peninjauan
terhadap hasil-hasil gerakan dasawarsa pembangunan Dunia I (1960-1970) guna
merumuskan strategis dasawarsa pembangunan Dunia Ke - 2, (1970-1980)
(Soemartono, 1996;24). Mengenai masalah lingkungan hidup dari wakil Swedia
mengajukan saran untuk menyelenggarakan suatu konfrensi internasional tentang
lingkungan hidup. Yang pada akhirnya disepakati pada tanggal 5-16 Juni 1972
diadakan konfrensi PBB di Stockholm - Swedia. Dengan dikeluarkan deklarasi
tentang penanganan lingkungan hidup. Deklarasi Stockholm merupakan suatu
legitimasi dasar (basic legetimation) penanganan hukum bagi negara-negara yang
berkumpul di stockholm.
Bagi
negara-negara maju persoalan pembangunan tidak menjadi masalah sedangkan faktor
lingkungan menjadi masalah, sedangkan bagi negara berkembang, diperhadapkan
pada dua pilihan. Pada satu pilihan mempercepat pertumbuhan pembangunan,
sementara pada pilihan yang lain faktor kelestarian lingkungan sangat
dibutuhkan.
Walaupun
demikian, Deklarasi Stockholm mengilhami negara-negara di dunia akan pentingnya
lingkungan hidup masa depan. Oleh Karena itu telah disadari bahwa, masalah
lingkungan hidup sangat menentukan kelangsungan hidup makhluk Tuhan, termasuk
manusia. Antara makhluk dan ekologinya saling mempengaruhi dan mempunyai
ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Manusia memerlukan lingkungan
hidup yang sehat, nyaman, baik udara, tumbuh-tumbuhan, air maupun binatang.
Demikian juga sebaliknya. Namun, kondisi yang demikian, telah terevolusi akibat
tangan-tangan manusia, yang selalu mementingkan kepentingannya sendiri dan
pemerintah pada masing-masing negara karena mengejar pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan, sering mengeksploitasi dan mengeksploirasi lingkungan secara bebas
tanpa memperhitungkan dampak negatifnya.
Deklarasi
Stockholm telah merefleksi konsep tentang pembangunan berwawasan lingkungan.
Konsep ini bukan saja mengajak seluruh negara dan penduduk bumi untuk
meningkatkan kepedulian terhadap ancaman kerusakan lingkungan, tetapi juga melihat
adanya kesejajaran antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
bukan sesuatu yang harus dipertentangkan antara satu dengan yang lain (Soejono,
1996 ; 3).
Konsep
pembangunan berwawasan modern, berbeda dengan konsep lingkungan klasik. Lingkungan
klasik mengedepankan pemanfaatan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan
dengan berbagai kepandaian manusia untuk mendapatkan hasil yang semaksimal
mungkin dan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
II
Deklarasi lahir dari konfrensi
Stockholm, yang mendasari kofrensi tersebut sampai dengan dikeluarkannya
Deklasrasi Stockholm merupakan peristiwa yang sangat bersejarah bagi hukum
lingkungan (Soemartono, 1996 ; 29).
Setelah terlaksananya konfrensi
Stockholm hukum lingkungan telah memperoleh posisi yang kuat, baik pada tingkat
nasional, regional maupun internasional. Suatu manfaat yang besar, adalah mulai
tumbuhnya kesatuan, pengertian dan bahasa diantara ahli hukum lingkungan dengan
menggunakan Deklarasi Stockholm sebagai referensi pertama (Soemartono, 1996 ;
29).
Masalah lingkungan di negara maju
dengan latar belakang dan faktor penyebab lingkungan yang berbeda, semula
menimbulkan suara yang sumbang dan berprasangka terhadap kofrensi Stockholm
dari peserta negara berkembang, dengan menyatakan antara lain ; Berilah kami
pencemaran asal saja kami maju (Rangkuti, 2000 ; 28-29).
Seperti ungkapan
Vittachi :
It offended
some of the environmentalist at Stockholm to heardelegates from the poor world
remarking out of the side of their mouth that their interest in improving the
environment was not limited to scenery and that their countries could possibly
afford a little pollution (Rangkuti, 2000 : 29).
Hal ini menunjukkan bahwa keterbelakangan pembangunan pada
negara-negara berkembang menghadapi suatu dilematis. Dia mengharapkan keluar
dari garis batas kemiskinan dengan mempercepat pembangunan, namun diperhadapkan
dengan faktor lingkungan hidup.
Umat manusia. Konfrensi Stockholm telah menerima Declaration on the
Human Environment yang berisi 26 asas serta menurut kesepakatan negara-negara
yang mengikuti konfrensi tersebut merupakan pedoman bagi mereka di tahun-tahun
mendatang.
Deklarasi Stockholm mengakui hak asasi manusia. Hak hidup setiap
orang untuk atau akan suatu lingkungan yang baik dan sehat. Pada waktu yang
sama, pernyataan itu juga memberikan kewajiban untuk memelihara lingkungan
hidup. Manusia sedemikian rupa hingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi
yang akan datang (asas nomor 1).
Menurut
Muchtar Kusuma Atmadja (1992 : 21), bahwa asas Stockholm meletakkan dasar-dasar
bagi penggunaan, pengawetan dan pelestarian sumber kekayaan alam didasarkan
suatu alami sedemikian rupa sehingga memungkinkan menjaga daya dukung darpada
planet bumi, sumber kekayan alam dapat dikelola dengan baik, depletion dicegah
dan penggunaan lingkungan dapat dinikmati oleh seluruh manusia.
Selanjutnya,
menurut Muchtar Kusuma Atmadja (1992 : 21), apabila asas-asas umum itu
diterapkan pada laut, maka atas asas nomor 7 memberikan kewajiban kepada semua
negara untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut yang
membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Sumber kekayaan laut dan
lain-lain penggunaan lingkungan laut .
Di samping 26 asas tersebut,
konfrensi Stockholm menyetujui 106 rekomendasi yang dimuat dalam Action Plan
International, yang terdiri atas tiga bagian kerangka :
a.
A global assessment programme
dikenal sebagai earthwatch.
b.
Environmental management
activities.
c.
Supporting measures; education
and training, public information, and organizational and financing arrangements
(Rangkuti, 2000 ; 31).
Sedangkan menyangkut dengan masalah
lingkungan sedunia (global environmental problems) sidang PBB menerima 11
resolusi mengenai lingkungan hidup, yang dijadikan landasan bagi kebijaksanaan
lingkungan.
Untuk menunjang pelaksanaan rencana
aksi lingkungan hidup (action plan) tersebut, yang terdiri dari :
a.
Dewan Pengurus Program
Lingkungan Hidup
b.
Sekretariat yang dikepalai oleh
seorang Direktur Eksekutif
c.
Dana Lingkungan Hidup
d.
Badan Koordinasi Lingkungan
Hidup (Supami, 1994 ; 22).
Untuk melaksanakan deklarasi Stockholm tersebut dan untuk menghadapi
dasawarsa pembangunan dunia II (1972 – 1982) diadakan kegiatan berupa :
a.
Creation of the convention on
international Trade in Endangered Species of Will Fauna and Flora (CITES)
Washington 1974.
b.
Pada tahun 1975 diadakan
Convention on Wetlands of International Importence especially as Waterfowe
Habitat (Ramsar) came into force.
c.
1977. (Firat Intergovermental
Converence on Environmental Education, Tbilis, USSR).
d.
1980. A Peaceful Revolution
Publication of the World Conversation Strategy (INCN), WWF, UNEP in
Collaboration with UNESCO and FAO) (Hardjasoemantri, 1995 ; 43).
Kemajuan
lebih lanjut diperoleh dengan diadakannya Adalah Hoc Meeting of Senior
Government Officials Expert in Environmental Law di Manlevedeo, Uruguay, pada
tanggal 28 Oktober sampai dengan 6 Nopember 1981. Dan baru pertama kalinya
diadakan pertemuan Internasional tentang hukum lingkungan (Hardjasoemantri,
1999 ; 12).
Tujuan pertemuan Adalah Hoc tersebut untuk membuat kerangka metode
dan program yang meliputi upaya-upaya tingkat internasional, regional dan
nasional untuk pengembangan dan peninjauan berlaku hukum lingkungan dalam satu
badan yang dikenal sebagai The United Nation Environmental Programme (UNEP) di
Nairobi (Yakin, 1997 ; 19). Lembaga tersebut memberikan rekomendasi yang
berharga bagi perkembangan hukum lingkungan.
Perkembangan selanjutnya dalam pengembangan kebijaksanaan lingkungan
hidup PBB membentuk Badan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia (World
Commession on Environmental and Development) disingkat WCED.
Badan ini bertugas :
1.
Mengajukan strategi jangka
panjang pembangunan lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun
2000 dan sesudahnya.
2.
Mengajukan cara-cara supaya
keprihatinan lingkungan hidup dapat dituangkan dalam kerjasama antar negara
untuk mencapai keserasian antara kependudukan, sumber daya alam, lingkungan dan
pembangunan.
3.
mengajukan cara-cara supaya
masyarakat internasional dapat menanggapi secara lebih efektif pada pembangunan
berwawasan lingkungan.
4.
mengajukan cara-cara masalah
lingkungan jangka panjang dapat ditanggapi dalam agenda aksi untuk dasawarsa
pembangunan (Hardjosoematri, 1999 ; 24-15).
Untuk tugas ini terlaksana dengan baik WCED diminta mengadakan
komunikasi dengan pihak luar, seperti para ilmuan, para pemerhati lingkungan
dan kalangan generasi muda yang bergerak di bidang lingkungan.
Pada tahun 1987, WCED memberikan laporan dengan judul : Our Common
Future, yang memuat banyak rekomendasi khusus tentang perubahan institusional
dan perubahan hukum.
WCED memahami pentingnya perubahan hukum dan kelembagaan yang
diperlukan untuk beralih ke pembangunan berkelanjutan dan untuk itu menggaris
tindakan-tindakan yang dipersyaratkan pada tingkat nasional untuk mencapai tujuan
tersebut (Hardjasoemantri, 1999 ; 15). Tindakan tersebut diantaranya :
1.
Membentuk atau memperkuat
badan-badan untuk melindungi lingkungan dan mengolah sumber daya alam.
2.
Meningkatkan hubungan
pemerintah dengan dunia industri secara timbal balik, baik dalam pelaksanaan
kebijaksanaan hukum maupun peraturan guna wujud pembangunan industri
berkelanjutan.
3.
Memperketat konvensi dan
perjanjian internasional yang ada untuk perlindungan lingkungan, sumber daya
alam dan pembangunan berkelanjutan.
4.
Memperbaiki pengelolaan
analisis mengenai dampak lingkungan dan kemampuan untuk merencanakan
pemanfaatan sumber daya (Hardjosoemantri, 1999 ; 15).
Laporan WCED memberikan dampak yang
positif terhadap penyusunan strategi konservasi baru yang menggantikan World
Conservation Strategy (WCS) dengan Caring of The Earth (CE). CE dibentuk dengan
tujuan untuk memperbaiki keadaan masyarakat dunia dengan menetapkan dua syarat
:
Pertama, untuk menjamin komitmen yang luas dan mendalam pada sebuah
etika baru, yaitu etika kehidupan berkelanjutan dan mewujudkan prinsip-prinsip
dalam praktek.
Kedua,
mengintegrasikan konservasi dan pembangunan, konservasi untuk menjaga agar
kegiatan-kegiatan berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan
untuk memberikan kesempatan kepada manusia dimanapun guna menikmati kehidupan
yang lama, sehat serta memuaskan (Hardjosoemantri, 1999 ; 17).
Dalam masalah hukum lingkungan menurut CE hukum lingkungan dalam
pengertiannya yang luas adalah sebuah sarana esensial bagi mencapai
keberlanjutan. Ia mensyaratkan standar perilaku sosial dan memberikan ukuran
kepastian pada kebijaksanaan.
Selain CE menyatakan bahwa setiap sistem hukum yang komprehensif
bagi pembangunan berkelanjutan perlu
meliputi sekurang-kurangnya, perencanaan penggunaan tanah, pengawasan pembangunan,
pemanfaatan lestari dari sumber daya yang tidak dapat diperbahurui melalui
pembebanan misi, kualitas lingkungan, standar proses dan produk yang dirancang
untuk melindungi kesehatan manusia dan ekosistem. (Hardjosoemantri, 1999 : 18).
Pada tahun 1982 diadakan konfrensi PBB di Nairaba tentang hak-hak
lingkungan hidup dan pada tahun 1992, tepat 20 tahun setelah konfrensi
Stockholm daiadakan konfrensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan (United
Nation Conference on Enviromental and Development) yang terkenal dengan nama
KTT Bumi di Rio Jenero Brasil yang dihadiri oleh lebih 100 kepala negara dan
pemerintah. Konfrensi Rio Jeneiro menghasilkan 1) Deklarasi Rio, 2) Konvernsi
tentang perubahan iklim, 3) Konvensi tentang keanekaan hayati, 4) Prinsip tentang
hutan dan 5) Agenda 21 (Soemarwato, 1997;19).
Dalam deklarasi Rio dinyatakan bahwa tujuan KTT Bumi ialah untuk
mengembangkan kemitraan global baru yang adil. Deklarasi itu juga menyatakan
bahwa manusia adalah pusat perhatian pembangunan berkelanjutan (Soemarwato,
1997;19).
Jika dihayati isi deklarasi tersebut, maka dikatakan bahwa deklarasi
itu bersifat antopasentri, dan memiliki suatu kelemahan dan tidak akan tercapai
pembangunan berkelanjutan.
Baik dalam komprensi Stockholm, Komprensi Nairabi maupun Komprensi
Rio Jeneiro terdapat tiga aspek pengelolaan lingkungan, yaitu (1) Aspek
berkelanjutan; adalah suatu konsep pembangunan berkelanjutan (sustanaible
development) yang memungkinkan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan
manusia, namun tidak merusak fungsi sumber daya alam tersebut. Sehingga
pemanfaatan sumber daya alam dapat terus berlangsung dalam waktu lama. (2)
Aspek menyeluruh (komprehensif) merupakan suatu pendekatan ekologi dimana
hamparan sumber daya alam tidak terpisah satu sama lain. Sehingga aktivitas di
hulu akan mempengaruhi kegiatan di hilir bahkan kegiatan di suatu negara akan
mempengaruhi kegiatan di negara lain. Dengan demikian ekologi tidak mengenal
batas wilayah administratif yang dibuat oleh manusia. (3) Aspek perhatian terhadap
penghidupan generasi mendatang. Prisip ini dikembangkan dari konsep pembangunan
berkelanjutan. Konsep ini mencoba menjaga keseimbangan antara aspek pengelolaan
dan konservasi, didalamnya mengandung maksud agar tercipta juga perlindungan
untuk generasi mendatang. Agar lingkungan yang ada sekarang dapat dinikmati
untuk generasi mendatang (Heroepoetri, 2001; 1-3).
III
Hukum Lingkungan Modern
Dalam memahami apa hukum lingkungan modern itu dibutuhkan suatu
pengertian yang signifikan. Oleh karena itu, terlebih dahulu dipahami
pengertian hukum lingkungan itu sendiri.
Menurut R.M. Gatot P. Soemartono (1996:46), hukum
lingkungan adalah ruang dimana baik makhluk hidup maupun tak hidup barada dalam
suatu kesatuan dan saling berinteraksi, sehingga mempengaruhi kelangsungan
kehidupan makhluk hidup tersebut, termasuk manusia.
Menurut Danusaputro, hukum lingkungan adalah hukum yang
mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan
ketahanan lingkungan (Danusaputro, 1980;35).
Siti Sundari Rangkuti memberikan pengertian hukum
lingkungan adalah hukum yang menyangkut timbal balik antara manusia dengan
makhluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dikenangkan sanksi (Rangkuti, 2000
; 2).
Dengan demikian hukum lingkungan adalah keseluruhan
adalah peraturan yang mengatur tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak tidak seharusnya dilakukan terhadap lingkungan yang
pelaksanaan peraturan tersebut dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang
berwewenang.
Dari pengertian-pengertian tersebut tergambar tentang
apa hukum lingkungan modern itu. Danusaputro membedakan pengertian hukum
lingkungan modern dan hukum lingkungan klasik.
Dikatakan pula bahwa hukum lingkungan modern menetapkan
ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan
untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk
menjamin kelestariannya agar dapat secara langhsung terus menerus digunakan
generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. (Soejono, 1996 ; 5-6).
Hukum lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan
sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dan lingkungan itu
sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguna kepada ekologi. Dengan
berorientasi kepada lingkungan ini, menurut Soemartono Hukum lingkungan modern
memiliki sifat utuh, menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berbeda
dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes. (Soemartono, 1996 ; 47).
Menurut
Danosaputro dalam pandangan hukum lingkungan modern lingkungan hidup merupakan
subyek hukum dan dalam arti yang luas meliputi seluruh alam semesta, jadi tidak
mungkin dijadikan sasaran hak milik oleh orang seorang, sekelompok orang atau
lembaga seperti negara atau kelompok negara; Karena lingkungan adalah untuk keperluan
dan kepentingan “segenap insane dan seluruh jasad hidup” baik yang hidup
sekarang maupun yang akan hidup sepanjang zaman. Jadi sifat universal
(Soemartono, 1996 ; 47).
Apabila hukum lingkungan modern yang dikemukakan oleh
Danusaputro tersebut dijadikan dasar pijakan, maka dalam sistem hukum
lingkungan tidak dikenal adanya hak milik atas lingkungan hidup. Dalam sistem
hukum lingkungan hanya mungkin ada hak milik atas sementara unsur atau sumber
daya lingkungan tertentu.
Dengan demikian, dikarenakan lingkungan hidup tidak
mungkin dijadikan sasaran pemikiran, maka dengan lahirnya sistem negara
nasional, tumbuh berkembang sistem pengelolaan nasional atas lingkungan hidup
yang universal. Jadi yang mungkin bersifat nasional hanyalah sistem
pengelolaannya. Dalam hal itu, tiap sistem pengelolaan nasional atas lingkungan
hidup sudah sewajarnya disesuaikan dan didasarkan pada falsafah nasional yang
bersangkutan dan diselaraskan kepada situasi dan kondisi nasionalnya sendiri
(Soemartono, 1996 ; 7).
Mochtar
Kusuma Atmadja mengemukakan bahwa sistem pendekatan terpadu atau menyeluruh
harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia
secara tepat dan baik. Sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan hukum
lingkungan di Indonesia (Hardjosoemantri, 1999 ; 38).
Deupsteen mengemukakan, bahwa hukum lingkungan
(Meliencrecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (nataurlijk
milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkup berkaitan dengan dan
ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum
lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.
Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum
lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintah (Hardjosoemantri, 1999
; 39).
Hukum lingkungan pemerintah terdiri atas hukum
lingkungan pemerintah pusat, hukum lingkungan pemerintah daerah dan sebagian
lagi berasal atau dibentuk oleh badan-badan Internasional atau melalui
perjanjian negara-negara lain.
Indonesia sebagai negara yang turut hadir dalam
konfrensi Stockholm, Nairobi dan Rio Jeneiro, mempunyai tanggung jawab untuk
meretifikasi isi deklarasi-deklarasi tersebut ke dalam hukum lingkungan
nasionalnya.
Bangsa Indonesia menyadari bahwa lingkungan hidup Indonesia
adalah anugerah Allah, Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia
dan merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan
kemampuannya agar dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan
bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas hidup sendiri.
Pembangunan hukum lingkungan nasional sebagaimana
digariskan dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999 – 2004, penata hukum nasional telah menjadi prioritas arah
kebijaksanaan di bidang hukum. Menurut Rangkuti (2000 ; 9) untuk menghindari
kesimpangsiuran pendapat, perlu penegasan mengenai pengertian Hukum Nasional
Indonesia.
Menurut Sunaryati Hartono Hukum Nasional Indonesia adalah hukum yang
belum (seluruhnya) ada di Indonesia dan karena itu masih harus dipikirkan
bagaimana membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan landasannya serta
falsafah dan materinya (Rangkuti, 2000 ; 9).
Dari uraian tersebut jelaslah betapa eratnya hubungan
antara hukum lingkungan dan kebijaksanaan lingkungan dalam pembangunan hukum
nasional. Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia telah mempunyai dasar hukum
yang kuat dan bersifat menyeluruh serta dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum
lingkungan sebagaimana dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hiup. Dan pada tahun 1997
undang-undang ini disempurnakan dengan undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH).
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 yang dimaksud dengan
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan pengawasan dan pengendalian lingkungan
hidup. Sedangkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa mendatang (pasal 1 butir 1,
2 & 3).
Dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup, prinsip yang
sangat menentukan adalah asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan
asas manfaat dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Bertolak dari uraian tersebut diatas, pengelolaan
lingkungan hidup Indonesia adalah tanggung jawab negara. Untuk menciptakan
suatu lingkungan hidup yang berkelanjutan, baik sumber daya maupun
kemanfaatannya untuk generasi yang akan datang. Pengelolaan lingkungan hidup
adalah suatu amanat Tuhan Yang Maha Esa kepada orangyg beriman dan mempunyai
nilai ketaqwaan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, yaitu bersifat arif dan bijaksana terhadap lingkungan hidup.
IV
Analisis
Deklarasi Stockholm telah mengakui hak-hak asasi setiap orang untuk
hidup atas lingkungan yang baik dan sehat. Hal ini memberikan suatu kewajiban
bagi setiap orang, atau badan untuk memelihara lingkungan hidup manusia dan
habitat lainnya serta sumber daya sedemikian rupa agar dapat dinikmati oleh
generasi mendatang.
Deklarasi Stockholm merupakan merupakan titik kulminasi
perbincangan mengenai lingkungan hidup manusia dan memberikan gema ke seluruh
dunia, seirama dengan berkembangnya perhatian dan kesadaran tentang lingkungan
hidup sejalan Deklarasi Stockholm. Hukum lingkungan nampak pula mengalami
perkembangan yang pesat, baik secara internasional maupun secara nasional di
berbagai negara. Perkembangan tersebut nampak dalam semakin bergesernya
pendekatan yang dipakai, yang semula terutama bertumpu pada pendekatan parsial
yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pengawetan sumber daya alam kemudian
beralih ke pendekatan holistik yang menjamin pembangunan berkelanjutan
didasarkan pada strategi lingkungan yang memadai yang mencakup kebijaksanaan
dan perundang-undangan, pemantauan dan evaluasi lingkungan serta pemanfaatan
sumber daya alami secara rasional dengan tetap memperhitungkan daya dukung
lingkungan. Dari perkembangan tersebut nampak menonjol fungsi hukum sebagai
sarana pembngunan.
Apabila dikaji secara mendalam hasil-hasil komperensi
Stockholm tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa baik pembukaannya,
asqas-asasnya maupun rekomendasi-rekomendasinya telah memberikan pengerahan
yang cukup jelas terhadap penanganan masalah lingkungan hidup, termasuk di
dalamnya pengaturan melelui perundang-undangan. Asas-asas Deklarasi Stockholm
1972 telah memungkinkan dibentuknya ukuran-ukuran nasonal yang berbeda daripada
ukuran-ukuran internasional (International standard). Hal mungkin terjadi dalam
hal-hal dimana penting atau perlu untuk melakukannya, karena sistem nilai yang
berlaku disetiap negara, idak saja yang disebabkan sifat unik daripada
lingkungannya, tetapi juga didasarkan pertimbangan bahwa berlakunya
ukuran-ukuran (standard) yang berlaku bagi kebanyakan negara maju mungkin tidak
tepat bagi negara-negara berkembang, atau mengakibatkan ongkos sosial yang
tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Tidak berlebihan apabila dikatakana baahwa kerangkaa
konsepsional untuk pendekatan global terhadap perlindungan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan yang didasaarkan atas asas-asas ekologi itu
diletakkan dalam Deklarasi Stockholm 1972 menjadi dasar pembentukan sistem
hukum lingkungan modern. Karena mengingat sangat pentingnya lingkungan hidup
dan pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan generasi mendatang. Konsep
pembangunan berwawasan lingkungan juga menjadi isu sentral dalam komprensi Rio
Jeneiro (Komprensi Bumi).
Yang perlu didasari, walaupun implementasi hasil Rio
Jeneiro sangat diperlukan untuk menangani masalah lingkungan yang makin
memburuk, namun harus diwaspadai agar tidak dirugikan oleh implementasi. Sebab
semua persetujuan merupakan kompromi antara pihak-pihak yang melakukan
persetujuan itu sehingga masing-masing pihak akan berusaha untuk
menginterprestasikan persetujuan itu sesuai dengan proporsinya masing-masing.
Apabila asas Deklarasi Stockholm marupakan patukan dasar
dalam konsepsi hukum lingkungan modern, maka adalah suatu kewajiban bagi setiap
negara untuk meretivikasi batas-batas tersebut sebagai suatu undang-undang
lingkungan hidup. Walaupun asas-asas dari Deklarasi Stockholm hanyaa merupakan
kesepakatan moral.
Dalam hukum lingkungan modern, mangandung tiga
konsepsional, yaitu pertama pengelolaan lingkungan yang seimbang, serasi, dan
berwawasan lingkungan. Suatu perbedaan yang sangat esensi dengan hukum
lingkungan klasik, dimana hukum lingkungan klasik menetapkan
ketentuan-ketentuan dan norma-norma dengan tujuan mengeksploitasi sumber-sumber
daya dengan berbagai cara guna mencapai hasil yang maksimal dalam jangka waktu
yang sesingkatnya.
Kedua konsep menyeluruh atau komprehensif integral. Ini
berarti hukum lingkungan memiliki sifat yang berhubungan dengan lingkungan
alam. Karena itu pengelolaan lingkungan perlu didasarkan pada keseimbangan
antara satu species dengan species lainnya. Hukum lingkungan modern memiliki
watak bahwa pengelolaan lingkungan untuk kemanfaatan lingkungan. Oleh karena
itu,lingkungan laut, udara, daraat, air dan makhluk hidupnya merupakaan suatu
kesatuan lingkungan yang utuh.
Ketiga konsep berkelanjutan. Hukum lingkungan modern
menetapkan suatu dasar bahwa pengelolaan lingkungan dan pelaksanaan pembangunan
bukan terbatas pada waktu tertentu atau pada generasi tertentu. Tetapi,
pengelolaan lingkungan harus memperhitungkan keterbatasan daya dukung sumber
daya dan bahwa lingkungan hidup adalah suatu rahmat Tuhan yang harus diwariskan
kepada setiap generasi. Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan adalah
pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga setiap
generasi yang akan merasakan kemanfaatan lingkungan dengan pembangunannya.
Bagi Indonesia konsep hukum
lingkungan modern telah dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum lingkungan
dan pembangunan berwawasan lingkungan. Harus diakui bahwa Indonesia dengan
berbagai perangkat aturannya memasukkan asas pertanggung jawaban negara, asas
kemanfaatan dan asas berkelanjutan pembangunan menjadi asas hukum lingkungan
hidup telah menetapkan suatu garis batas agar lingkungan hidup jangan
dieksploitasi tanpa memperhitungkan daya dukung sumber daya, dan kehidupan
generasi yang akan datang.
Bagi Indonesia faktor aturan tentang lingkungan hidup
telah mendekati kesempurnaan. Namun yang menjadi masalah kebijaksanaan
pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Faktor pengawasan lingkungan, faktor
penegakan hukum, dan faktor kesadaran hukum masyarakat pelaku ekonomi (para
perusahaan, HPH, Industri dan semacamnya) dan masyarakat belum menganggap
lingkungan sebagai teman hidupnya. Mereka hanya memahami lingkungan sebatas
pemanfaatannya bagi dirinya.
IV
A.
1.
Deklarasi Stockholm mempunyai
arti penting untuk pertama kalinya, hak atas lingkungan yang bermutu, kehidupan
begitu tajam diformulasikan sebagai hak asasi. Lagi pula permasalahan
lingkungan, politik dan hukum lingkungan ditempatkan pada tingkat yang berbeda
dari waktu sebelumnya. Oleh sebab itu Deklarasi Stockholm menjadi dasar dari
hukum lingkungan modern.
2.
Hukum lingkungan hukum modern,
menetapkan asas pertanggung jawaban, kemanfaatan dan pembangunan berwawasan
lingkungan, sebagai landasan bagi setiapa negara maupun badan-badan
internasional dengan berorientasi pada pengelolaan lingkungan yang bersifat
komprehensif dan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi yang akan datang.
B.
1.
Mengingat saangat relevansinya
asas-asas Deklarasi Stockholm dengan kondisi krisis lingkungan hidup dunia
dewasa ini, maka diwajibkan agar setiap negara meretevikasi asas deklarasi
tersebut untuk menjadi undang-undang lingkungan hidup.
2.
Indonesia dengan potensi alam
hayati dan non hayati yang semakin berkurang karena ulah oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab, maka sangat dibutuhkan penegak hukum yang memiliki komitmen
yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dan secara tegas menindak
oknum-oknum yang merusak lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjasoemantri, Kusnadi, (1995). Hukum Perlindungan
Lingkungan. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
…………………, (1999). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press.
Heroepoetri, Arimba, (2001). Tak Ada Tempat Bagi
Rakyat (Wewenag Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Undang-Undang Otonomi
Daerah). Yogyakarta; Kreasi Wacana.
Kusuma Atmadja, Mochtar, (1992). Perlindungan dan
Pelestarian Lingkungan Laut. Jakarta; Sinar Grafika..
Rangkuti, Siti Sundari, (2000). Hukum Lingkungan
dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya; Airlangga University
Press.
Suparmi, Niniek, (1994). Pelestarian Pengelolaan
dan Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta; Sinar Grafika.
Soemartono, R.M. Gatot P (1996). Hukum Lingkungan
Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika.
Soejono, (1996). Hukum Lingkungan dan Peranannya
Dalam Pembangunan. Jakarta; Rineka Cipta.
Soemarwoto, Otto (1997). Ekologi Lingkungan Hidup
dan Pembangunan. Jakarta;Djembatan.
Wijoyo, Suparto, (1999). Penyelesaian Sengketa
Lingkungan. Surabaya; Airlangga University Press.
Yakin, Addinul, (1997). Ekonomi Sumber Daya dan
Lingkungan (Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan). Jakarta;
Akademika Presindo.
jagalah lingkunganmu...maka lingkungan akan menjagamu
ReplyDelete