Dalam kehidupan organisasi, konflik merupakan suatu bagian alami yang tidak dapat dihindari. Pada hakikatnya konflik adalah segala macam interaksi pertentangan di antara dua pihak atau lebih. Wexley dan Yukl (1988:229) mendefinisikan konflik sebagai suatu perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan dan/atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak-pihak yang menjadi lawannya.
Sejalan dengan itu, menurut Winardi (1994:1), konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasioraganisasi. Lebih lanjut, Stoner dan Wankel (1988:50) menjelaskan, konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat di antara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja atau dari kenyataan bahwa mereka mempunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda. Para anggota organisasi atau sub-sub yang berbeda pendapat berupaya untuk memenangkan.
Tema umum yang mendasari beberapa definisi di atas adalah, konflik merupakan proses pertentangan sekurang-kurangnya dua pihak dalam suatu organisasi, prosesnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lain menentang atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitan dengan dirinya.
Sejalan dengan itu Robbins, (1984:142) menjelaskan kesamaan dari kebanyakan definisi konflik: the assumption that there are two or more parties whose interest or goals appear to be incompatible, the parties are therefore in opposition. When one party blocks the goal achievement of another state exists.
Umumnya yang menjadi sumber ketidakcocokan atau pertentangan tersebut, menurut Wexley dan Yukl (1988:231) meliputi:
(1) persaingan terhadap sumbersumber,
(2) ketergantungan pekerjaan,
(3) kekaburan bidang tugas,
(4) problem status,
(5) rintangan komunikasi, dan
(6) sifat-sifat individu.
Stoner dan Wankel (1988:555) mengemukakan empat sumber konflik keorganisasian, yaitu:
(1) kebutuhan untuk memperoleh sumber daya yang langka,
(2) perbedaan dalam tujuan unit organisasi,
(3) interdepedensi aktivitas kerja dalam organisasi, dan
(4) perbedaan nilai atau pandangan antarunit organisasi.
Kemudian, lebih terperinci Robbins (1994:457) menjelaskan sumber konflik dalam organisasi meliputi:
(1) saling ketergantungan pekerjaan,
(2) diferensiasi horizontal yang tinggi,
(3) formalisasi yang rendah,
(4) ketergantungan pada sumber bersama yang langka,
(5) perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan,
(6) keanekaragaman anggota,
(7) ketaksesuaian status,
(8) ketakpuasan peran, dan
(9) distorsi komunikasi.
Sementara itu, Gibson (1993:272) menelaah empat faktor yang menimbulkan konflik keorganisasian:
(1) saling tergantung dalam pekerjaan,
(2) perbedaan tujuan,
(3) perbedaan persepsi, dan
(4) meningkatnya tuntutan adanya spesialisasi.
Secara umum, sumber utama konflik keorganisasian meliputi:
Pertama, persaingan terhadap sumber yang langka. Salah satu sumber konflik dalam organisasi adalah apabila dua pihak bersaing atau bergantung pada sumber daya yang langka seperti dana operasi, ruang, peralatan, personalia, serta pelayanan pendukung (misalnya, pengetikan, pengadaan pemrosesan data, pemeliharaan). Semakin langka pengadaan sumber-sumber yang relatif banyak diperlukan oleh pihak-pihak tandingannya, dan semakin penting sumbersumber tersebut bagi mereka, semakin besar kemungkinan konflik akan berkembang serta semakin tajam.
Kedua, saling ketergantungan pekerjaan. Jika dua atau lebih pihak dalam organisasi bergantung satu sama lain untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya, maka konflik akan terjadi jika di antara pihak mempunyai prioritas yang berbeda-beda. Ketergantungan pekerjaan dapat satu arah atau dua arah, dan ketergantungan dapat mencakup pembagian persediaan informasi, pengarahan, di samping tuntutan mengkoordinasikan aktivitasaktivitas di antara para pihak. Semakin besar orientasi tujuan di antara para pihak, maka semakin besar kemungkinan konflik akan berkembang.
Ketiga, perbedaan tujuan. Sehubungan dengan sub-sub unit organisasi cenderung semakin terspesialisasi atau diferensiasi karena mengembangkan tujuan, tugas, dan personalia yang berbeda. Diferensiasi tersebut kerapkali menyebabkan timbulnya konflik kepentingan atau prioritas-prioritas meskipun tujuan umum organisasi disepakati. Ada kondisi-kondisi tertentu yang membantu perkembangan konflik antarkelompok/organisasi karena perbedaan tujuan. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Keterbatasan sumber daya. Uang, ruangan, tenaga kerja, dan bahan-bahan seperti telah diuraikan di atas, sebenarnya tidak terbatas. Setiap kelompok dapat berusaha mengejar tujuannya masing-masing; paling tidak, pada tingkat tertentu. Dalam situasi ini, sering terjadi persaingan ialah menang yang dengan mudah dapat berakibat terjadinya konflik tidak fungsional.
- Struktur imbalan. Konflik ini terjadi jika sistem imbalan lebih dikaitkan dengan prestasi kelompok masing-masing daripada dengan prestasi organisasi secara keseluruhan. Misalnya, kelompok-kelompok tertentu dalam organisasi diberi penghargaan. Sebagai contoh, kelompok pemasaran diberi penghargaan (imbalan) karena berhasil menjual lebih banyak, sedangkan kelompok yang tidak berprestasi sedikit di bawah kelompok pemasaran tidak diberi penghargaan (imbalan). Hal ini dapat memancing terjadinya konflik dalam organisasi.
Keempat, kekaburan batas-batas bidang kerja. Konflik mungkin sekali terjadi bilamana batasanbatasan bidang kerja tidak jelas dikarenakan ketimpangan-ketimpangan tanggung jawab dan satu pihak berusaha untuk melakukan lebih banyak pengendalian atas perilaku-perilaku yang disukainya atau mengalihkan bagiannya dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas yang tidak disukainya. Konflik juga berkembang apabila satu pihak berusaha mencari muka atas setiap keberhasilan atau mengalihkan celaan bila terjadi kegagalan dalam suatu aktivitas bersama.
Kelima, meningkatnya tuntutan akan spesialisasi. Konflik antarstaf spesialisasi dan generalis lini mungkin merupakan jenis konflik antarkelompok yang paling umum. Dengan bertambahnya kebutuhan akan ahli teknik di semua bidang organisasi, peranan staf dapat diharapkan meluas dan konflik lini dan staf dapat diperkirakan meningkat. Pegawai lini dan staf memandang peranan mereka dalam organisasi dari perspektif yang berbeda:
- Persepsi terjadinya pengurangan wewenang lini. Pimpinan tingkat menengah takut bahwa para spesialis akan melanggar batas pekerjaan mereka yang karenanya mengurangi wewenang dan kekuasaan mereka. Akibatnya, para spesialis sering mengeluh bahwa eksekutif menengah tidak memanfaatkan staf spesialis secara layak dan tidak memberi wewenang yang cukup pada anggota staf.
- Perbedaan sosial dan fisik. Menyangkut umur, pendidikan, cara berpakaian, dan sikap dalam beberapa hal, staf spesialis lebih muda dari eksekutif menengah, dan mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pelatihan dalam suatu bidang spesialisasi.
- Ketergantungan lini atas pengetahuan staf. Mengingat para pimpinan lini sering tidak mempunyai pengetahuan teknis yang diperlukan untuk mengelola bidangnya, mereka tergantung para spesialis. Jurang yang terjadi antara pengetahuan dan wewenang bahkan mungkin lebih besar jika staf spesialis lebih rendah dalam hierarki organisasi dari pada manajer. Kasus ini sering terjadi. Akibatnya, staf sering mengeluh bahwa para pimpinan lini menolak ide-ide baru.
- Perbedaan kesetiaan. Perbedaan kesetiaan sering terjadi antara pimpinan lini dengan staf spesialis. Staf spesialis mungkin taat pada disiplin, sedangkan pimpinan lini setia kepada organisasi. Jika kesetiaan terhadap fungsi-fungsi atau disiplin tertentu lebih besar dari kesetiaan terhadap organisasi secara keseluruhan, besar kemungkinan terjadi konflik.
Belum ada tanggapan untuk "5 Sumber Konflik dalam Organisasi"
Post a Comment