Perhelatan fashion adalah bentangan teks, dan kurator bertugas menenun, memaknai, dan menarasikan untaian teks tersebut kepada publik. Perhelatan ini setidaknya ada tiga jenis, yakni pameran fashion, fashion show, dan fashion carnival. Ketiga perhelatan ini dibingkai dengan tema tertentu yang merupakan payung wacana dari perhelatan tersebut.
Pameran fashion adalah karya fashion yang dipamerkan di ruang galeri, museum, dan ruang alternatif lainnya. Pada umumnya pameran ini tidak memerlukan model untuk memajang karya. Hal ini berbeda dengan fashion show yang harus menggunakan model saat mempertunjukkan fashion dalam ruang dan waktu tertentu.
Adapun karnaval fashion adalah perhelatan yang menampilkan karya fashion secara helaran (arak-arakan). Karnaval fashion pada dasarnya adalah fashion show. Hal mendasar yang membedakan adalah umumnya fashion show disajikan di atas catwalk dan tidak bersifat arak-arakan, sementara karnaval disajikan di jalanan dalam bentuk arak-arakan.
Skov dkk. (2009: 2-3) menyebutkan fashion show adalah sebuah bentuk seni, dan sebuah catwalk adalah sebuah bagian dari mekanisme promosi industri fashion, maka karnaval fashion juga sebuah bentuk seni, yakni seni pertunjukan yang dapat pula bermotif ekonomi, sebagaimana karnaval kostum Bandung Great Sale 2016.
Sebagai sebuah bentuk seni, karnaval fashion tentu memiliki bentuk dan isi yang memerlukan ruang penyajian. Bentuknya adalah helaran (arak-arakan). Bentuk ini mewadahi materi fashion yang dikarnavalkan. Kualitas bentuk ini secara teoritis dapat dilihat dengan pendekatan formalisme yang lebih menitikberatkan pada persoalan bentuk (Adams, 1996: 6-7).
Adapun isinya adalah nilai-nilai yang dituangkan dalam setiap teks fashion yang dikarnavalkan. Persoalan isi ini adalah hal penting, karena wujud fashion adalah salah satu pencitraan mental, yakni pengganti hal sesungguhnya yang oleh Danesi disebut purwarupa (Danesi, 2010: 92).
Citra ini bisa dibangun dari rekaman realitas, atau dokumentasi fakta-fakta manusia, tempat, sesuatu, tindakantindakan dan peristiwa yang melukiskan sesuatu (Leeuwe & Jewi" , 2001: 4). Oleh karenanya pengemasan bentuk dan isi ini menjadi penting karena keduanya merupakan satu kesatuan organik (Setiawan, Haryono, & Burham, 2014: 41).
Peluluhan keduanya dalam satu entitas akan menjadikan karnaval fashion bukan sekedar arak-arakan, namun memiliki citra estetik yang dibangun berdasarkan tema karnaval itu sendiri. Ruang penyajian arak-arakan adalah runway, jalan besar yang memungkinkan seluruh karya dapat tersajikan di ruang publik sesuai tujuan karnaval itu sendiri. Pilihan runway sendiri cukup penting karena merupakan langkah taktis dan strategis dalam menyajikan karya, sebagaimana perupa memilih ruang pajang tertentu untuk memamerkan karyanya agar memiliki daya ungkit terhadap karyanya. Ketiga jenis perhelatan di atas merupakan medium dalam meresepsi dan meresensi karya fashion sehingga menjadi salah satu agen utama dalam memperbincangkan karya fashion.
Oleh karenanya, perhelatan fashion bukan sekedar menata materi fashion yang dipamerkan dan atau dipertunjukkan, namun juga pekerjaan mengorganisasi dan merekayasa unsur-unsur yang ada di luar ruang pamer atau ruang pertunjukan, yaitu desainer, kurator, dan publik sebagai penikmatnya.
Meminjam istilah Susanto (2004: 13), perhelatan fashion ini dapat dianggap sebuah ikatan dan penyambung berbagai hal dan aneka unsur yang ada di dalam ruang besar untuk tujuan dan maksud tertentu.
Objek perhelatan fashion sendiri cukup unik, karena pada umumnya fashion digunakan untuk menyebut mode, yakni gaya pakaian yang populer. Gaya ini tidak terlepas dari gaya hidup yang terus berubah mengikuti trend terbaru. Kecenderungan orang modern yang memuja hasrat tentu akan mengikuti hal tersebut. Oleh karenanya, fashion dan gaya hidup merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat modern (Hendariningrum & Susilo, 2008: 25). Eksistensi keduanya erat melekat, sehingga tidak jarang fashion dipahami sebagai gaya hidup, walaupun tidak semua gaya hidup bisa disebut fashion.
Fashion hanyalah salah satu cerminan gaya hidup, karena gaya hidup bukan melulu fashion. Proposisi ini mendasar karena gaya hidup bukanlah sekedar pola tindakan yang membedakan antara orang yang satu dengan lainnya sebagaimana asumsi Chaney (2004: 40).
Gaya hidup juga bukan sebatas pengertian hidup yang bergaya, namun juga persoalan pilihan hidup yang terkait dengan ruang dalam manusia, yang jauh dari hiruk-pikuk dan gemerlapnya dunia.
Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa setiap perhelatan fashion tidak selamanya merayakan gaya hidup, karena bisa jadi justru menjadi ajang menyadarkan penikmat, bahwa orientasi hidup bukan gaya hidup.
Oleh karenanya, ketika fashion diangkat ke dalam karnaval, bisa saja bukan untuk merayakan gaya hidup, namun justru untuk memaknai hidup. Sudah barang tentu, hal ini terkait dengan bingkai kurasi dari karnaval tersebut.
Meminjam istilah dari Marinis (1993: 1-2), fashion show maupun karnaval fashion adalah pertunjukan yang multi lapis, seperti lapis kostumnya, musiknya, tata panggungnya, performance modelnya, bentuk runway-nya, kreativitas senimannya, konteks penyelenggaraannya, dan masih banyak lagi. Skov dkk. (2009, l7) membagi lapis tersebut menjadi dua, yakni yang terkait dengan ruang dan waktu. Hal yang yang terkait dengan ruang adalah seing, catwalk, set dan runway design. Adapun hal yang terkait dengan waktu, adalah music, performance, dan staged appearances.
Sebagai sebuah bentuk pertunjukan yang multi lapis, karnaval fashion tentu melibatkan banyak pihak, seperti penggagas karnaval, kreator kostum (desainer), model, penata artistik panggung, penata musik, penyandang dana, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki kepentingan tertentu terhadap event tersebut.
Untuk menyatukan kepentingan ini diperlukan kurator fashion yang tugasnya sama dengan kurator pameran seni rupa pada umumnya, yakni mensenyawakan berbagai kepentingan dalam satu tempat perhelatan karnaval fashion: runway.
Sebagai sosok penting yang berada di balik suksesnya perhelatan fashion, kurator karnaval fashion harus memliki wawasan yang luas sehingga mampu melahirkan makna baru saat fashion ditampilkan di atas runway. Hal ini cukup mendasar karena fashion bisa menjelma menjadi karya seni sebagaimana dipetakan Read (1954: 5), yakni penuh kedalaman, namun di sisi lain harus bisa bertarung dengan dunia kapitalis untuk memenangkan pasar.
Kurator Fashion
Sejarah kata kurator terkait dengan istilah juru kunci, pengawas, dan penjaga. Ia adalah pemimpin yang perannya terkait perawatan dan kontrol adalah inheren (Fowle, 2007: 26). Perkembangan lebih lanjut tentang peran kurator muncul dalam dimensi praktik kurasi seni rupa, karena kerja kurasi mirip seniman yang memproduksi karya seni. Ia seperti sutradara yang memberi peluang munculnya lapisan makna. Kuasa kurator juga dimungkinkan karena ia sebagai penulis, penyeleksi, editor, mediator maupun fasilitator.
Oleh karenanya, Carrier (2006: 80) menyebutkan, suksesnya seorang kurator adalah ketika mampu sebagai mediator antara seniman dan publiknya. Dalam konteks museum, Alloway (1996: 222) menyatakan hal yang sama, bahwa kurator yang besar harus menjembatani antara museum sebagai institusi dengan publik sebagai konsumen.
Kuasa kurator juga dicatat oleh Janet Wolff , bahwa sebagaimana pemilik galeri, penerbit, distributor, kritikus, dan lain-lain, kurator memiliki kuasa dalam menentukan karya mana yang akan hadir dan dengan cara bagaimana menghadirkannya kepada publik, dan hal ini mempengaruhi kerja kurasi yang mengajak publik memasuki makna wacana yang dihadirkan (Pearce, 1989: 74).
Kerja kurator fashion tidak lepas dari gambaran di atas. Ia bertugas menjembatani antara desainer atau penyelenggaraa pameran fashion dengan publik. Kurator fashion harus berada di depan ketika menjelaskan segala hal yang terkait dengan pameran, seperti tentang karya, nilai pameran yang ditawarkan, serta memaknai kehadiran pameran beserta seluruh karya yang dipamerkan kepada publik.
Oleh sebab itu, kurator fashion harus memiliki bekal keilmuan di ranah fashion maupun di luar fashion. Keilmuan di bidang fashion di antaranya adalah praktik produksi hal-hal yang terkait dengan karya fashion, sejarah fashion, estetika fashion, semiotika fashion, kearsipan, arkeologi, dan lain sebagainya.
Adapun keilmuan di luar fashion yang minimal harus dikuasai kurator fashion adalah kehumasan. Tentu saja keilmuan ini bukan hanya dipahami pada tataran teknis sebagaimana terjadi dalam praktik kehumasan organisasi di Indonesia pada umumnya (Putra, 2008: 188).
Hal ini dikarenakan kurator memiliki kewenangan untuk ikut menentukan ke mana pameran akan bergerak. Keilmuan ini diperlukan karena kurator fashion harus mampu merencanakan perhelatan fashion secara detil, menyeleksi karya, dan sebagai supervisor sekaligus, yakni mengawasi, mengarahkan, memastikan, dan mengendalikan segala sesuatunya agar perhelatan fashion berjalan lancar. Keilmuan tersebut juga diperlukan karena kurator fashion harus melakukan riset terhadap karya yang akan dipamerkan. Hasil riset inilah yang kemudian disimpulkan dan diwacanakan ke publik.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa secara garis besar tugas kurator fashion adalah merencanakan dan melaksanaan suatu perhelatan fashion berdasarkan wacana representasi karya fashion yang dibangun, sehingga tujuan perhelatan fashion dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
Kurasi Fashion
Kerja kurasi pada umumnya dipahami pada wilayah seni rupa, namun berlaku pula untuk fashion (Sullivan, 2005: 138). Oleh sebab itu, praktik kurasi fashion pada dasarnya sama dengan praktik kurasi di dunia seni rupa pada umumnya. Kurasi bukan sekedar memilih dan menata objek yang dipamerkan dalam ruang tertentu.
Kurasi adalah proses panjang kerja kurator dalam rangka membawa karya seniman ke dalam ruang imajinasi, ruang yang dikonstruksi kurator dengan bingkai wacana tertentu sehingga memungkinkan publik memasuki ruang itu selaras dengan arah kurasi yang dibangunnya.
Oleh karenanya, memasuki ruang pameran bukan semata melihat objek yang dipamerkan, namun juga menelusuri lorong-lorong pikiran kuratornya. Untuk sampai ke ranah ini kurator dihadapkan pada persoalan objek seni yang dipamerkan itu sendiri (bentuk dan isi), maupun hal lain yang terkait dengan tujuan pameran, seperti sponsor, pemilik galeri dan lain sebagainya.
Guna menjawab persoalan ini, seorang kurator tentunya harus memiliki kemampuan dalam menilai karya sesuai wacana yang ia bangun, serta kemampuan mengkoordinasikan semua yang terlibat dalam pameran agar tujuan pameran tercapai.
Kurator juga harus mampu mempresentasikan karya yang dipamerkan melalui tulisan yang bernas maupun secara lisan di depan publik. Sebagaimana kurasi dalam dunia seni rupa, kurasi fashion bukanlah hanya persoalan memilah dan memilih busana/kostum yang akan dipamerkan/dikarnavalkan.
Kurasi fashion adalah upaya sistematis dalam merekayasa berbagai unsur dalam perhelatan fashion agar wacana dan materi yang disajikan terpresentasikan sesuai tujuan karnaval itu sendiri, seperti motif ekonomi, edukasi, estetis, dan lain sebagainya.
Proposisi ini cukup mendasar karena pameran [dan juga karnaval] merupakan sebuah sistem strategis representatif (Susanto, 2004: 10). Sebagai bentuk representasi, Furst menyebut pameran memiliki dua tipe utama dilihat dari gaya suatu pameran. Pertama gaya dengan pendekatan estetik. Ciri gaya ini lebih berkonsentrasi pada pandangan bahwa objek memiliki nilai intrinsik yang dengan sendirinya berbicara untuk dirinya sendiri dan penekanan diberikan kepada hak dari objek untuk berdiri sendiri. Kedua gaya dengan pendekatan rekonstruktif. Ciri gaya ini menghadirkan objek sebagai sesuatu yang memiliki arti secara etnografi dan berusaha untuk menginformasikan budaya latarnya (Read, 1954: 99). Meminjam pendapat Frust ini, karnaval fashion sebagai bentuk representasi tentu bisa dibangun dari kedua gaya tersebut. Pilihan mana yang dipilih tentu didasarkan pertimbangan bingkai kurasi yang dibangun kurator.
Wah mantap ya, Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru - Jilbab Pashmina Terbaru - Jilbab Instan Terbaru - Jasa Pembuatan Website Penjualan Online - Jasa Pembuatan Online Shop - Jasa Pembuatan Website Murah - Jasa Pembuatan Website Toko Online
ReplyDeleteTulisan ini copy paste dari tulisan saya di Panggung Vol. 28 No. 1, Maret 2018 Kurasi Fashion: Model Bingkai Kurasi pada Jember Fashion Carnival
ReplyDeletesdr ambil foto juga tidak menyebut karya siaoa foto tersebut...tulisan ini tidak layak dijadikan referensi. Bukan sumber yg sesungguhnya.
ReplyDelete