Steven J.
Barker Tucson,
Arizona
PENDAHULUAN
Lebih dari
100.000 kematian terjadi setiap tahunnya di U.S. sebagai akibat langsung dari
trauma, yang merupakan penyebab utama kematian pada kelompok umur bayi baru
lahir – 30 tahun. Anestesi pada pasien trauma mungkin merupakan tantangan
terbesar dalam bidang kita, karena kita harus merawat pasien dengan penyakit
kritis dimana riwayat, luka dan statusnya tidak kita ketahui dengan pasti.
Diagnosis pembedahan biasanya tidak diketahui pada saat insisi, karena itu
prosedur awal yang tepat harus dilakukan. Kita biasanya tidak mempunyai cukup
waktu untuk menempatkan monitor invasif yang diinginkan, atau untuk melakukan
resusitasi volume secara komplit. Namun, kita harus menganestesi, merelaksasi,
memonitor dan meresusitasi pasien-pasien ini sementara dokter bedah mencari
sumber perdarahan tersembunyi dan membuka atau memperbaiki viscera.
Laporan ini
meninjau dasar-dasar manajemen anestesi untuk trauma, yang meliputi evaluasi
pre-operative, penanganan jalan napas, monitoring, induksi dan maintenance,
resusitasi cairan dan komplikasi yang dapat terjadi. Beberapa perkembangan baru
dalam terapi trauma akan dijelaskan secara singkat.
EVALUASI PRE-OPERATIVE DAN PERSIAPAN
A.
EVALUASI
Evaluasi anestesi pada pasien trauma akut harus dimulai
dengan ABC yaitu : Airway, Breathing, Circulation [bukan Accuse
(menuduh), Blame (menyalahkan) dan Criticize (mencela)]. Pastikan
bahwa semua ini adekuat sebelum melangkah lebih jauh. Bersama dokter bedah kita
menentukan sumber luasnya kerusakan, dan mencari informasi sebanyak mungkin
dari pasien, keluarga, atau bila mungkin mengobservasi pasien. Pada pasien
trauma berat kita biasanya tidak mendapat cukup informasi, tetapi kita dapat
memperoleh yang lainnya melalui beberapa pertanyaan sederhana seperti :
“Dapatkan anda bernapas dalam?”, “Apa anda dapat mengingat kecelakaan itu?’.
Setelah evaluasi ABC selesai, kita mencari kemungkinan
adanya kelainan-kelainan lain seperti : penurunan bunyi napas pada satu sisi,
kaki dingin, kelainan fokal SSP dan sebagainya. Untuk trauma wajah harus
diingat bahwa faktur maksilla biasanya berhubungan dengan fraktur basis kranii
dan faktur cervical, sedangkan faktur mandibula yang berdiri sendiri jarang
ditemukan. Pada trauma tumpul dada, kita harus waspada akan adanya fraktur iga,
flail chest, kontusio paru atau jantung, pneumotoraks, tamponade jantung, dan
diseksi atau robekan aorta (70% akan ruptur dalam 24 jam bila tidak
terdiagnosis).
Bila memungkinkan, pemeriksaan laboratorium
pre-operative dilakukan seperti : foto lateral tulang belakang cervical, foto
toraks, EKG, hematokrit, dan urinalisasi. Pastikan bahwa contoh darah telah
dikirim ke bank darah secepatnya. Pemeriksaan laboratorium lain seperti CBC,
waktu pembekuan, dan elektolit darah dapat dilakukan, tetapi sebaiknya tidak
sampai menunda pelaksanaan operasi darurat.
B.
PERSIAPAN, PREMEDIKASI
Analgesik dan sedasi pre-operative sebaiknya dihindari kecuali bila
diagnosis telah pasti (misalnya fraktur terisolasi), atau bila obat-obatan
tersebut diperlukan untuk mempertahankan jalan napas. Penggunaan antikolinergik
untuk mengurangi sekresi dapat diterima bila tidak ada kontraindikasi. Antasid,
seperti Bicitra, 15 – 30 ml/oral, diindikasikan jika pasien kooperatif. Jangan
menggunakan larutan khusus seperti Mylanta atau Maalox. Dalam persiapan ruang
operasi, ruangan harus dihangatkan pada suhu 80 – 85 0F. Periksa
fungsi peralatan jalan napas apakah adekuat, juga obat-obat yang akan
digunakan, high flow I.V., penghangatan cairan serta monitor. Periksa pula
apakah produk darah di bank darah telah tersedia sebelum dilakukan insisi.
Diindikasikan untuk menggunakan oksigen, pulse oximetry, dan monitor saat
membawa pasien ke ruang operasi. Obat-obat pressor harus disediakan selama
mengangkut pasien yang tidak stabil. Sebelum memindahkan pasien, pastikan
posisi leher pasien stabil atau tidak ada kelainan cervical.
PENANGANAN JALAN NAPAS
Seperti pasien-pasien lain dengan ileus intestinal, pada pasien
trauma kita juga harus memperhatikan apakah lambung terisi penuh, yang beresiko
menimbulkan aspirasi pulmonal. Pasien trauma tidak dapat bertoleransi dengan
cepat, karena mereka biasanya dalam keadaan hipovolemik. Lagi pula pada pasien
ini mungkin terdapat kerusakan SSP dan jalan napas yang mengganggu kemampuan
mereka bernapas secara adekuat. Adanya kerusakan atau kelainan anatomi dapat
mempersulit intubasi dengan direct laryngoscopy. Intubasi pada pasien
dengan trauma cervical dapat menyebabkan kerusakan korda spinalis. Meskipun
bahaya aspirasi atau kerusakan korda spinalis dapat terjadi, pencegahan
hipoksemia tetap nerupakan prioritas utama di sepanjang waktu.
Indikasi
penanganan jalan napas secara aman dan cepat harus dilakukan pada pasien dengan
ventilasi dan oksigenasi yang buruk, adanya perubahan status mental,
tanda-tanda peningkatan obstruksi jalan napas (stridor, snoring),
terbakarnya jalan napas, syok, atau combativeness. Hal ini dan indikasi
lain untuk melakukan intubasi dan ventilasi mekanik secara dini dapat dilihat
pada Tabel 1. Pengenalan dini terhadap obstruksi lanjut
memerlukan pengawasan yang konstan. Pasien yang mengalami obstruksi atau apnu
memerlukan intervensi jalan napas segera, dimana pada pasien koma yang stabil
pernapasannya memerlukan cara yang lebih khusus.
Bila
jalan napas tertutup secara tiba-tiba (apnu atau obstruksi), maka pilihan utama
adalah intubasi orotrakheal dengan bantuan direct laryngoscopy.
Stabilisasi cervical harus dilakukan oleh asisten yang terlatih dengan baik,
dan penekanan krikoid (Sellick’s Maneuver) sebaiknya dikerjakan mulai
dari keadaan hilangnya kesadaran sampai penempatan tube dilakukan. Walaupun hal
ini lebih disukai pada pasien trauma, untuk menghindari penggunaan masker
ventilasi tekanan positif yang mempunyai resiko aspirasi, harus diingat bahwa
pencegahan hipoksia tetap merupakan prioritas utama. Penekanan krikoid yang
dilakukan dengan tepat dapat mencegah masuknya udara ke lambung dan mencegah
regurgitasi isi lambung ke dalam pharynx.
Jika
intubasi orotrakheal tidak mungkin dilakukan sedangkan pasien dalam keadaan
apnu, maka trans-tracheal jet ventilation(TTV) atau cricothyroidotomi
darurat harus segera dilakukan. TTV dengan kanula I.V. berukuran 14 dapat
mempertahankan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pada kebanyakan pasien.
Cara yang terbaik untuk menetapkan sesuatu yang lebih permanen adalah
mempertahankan jalan napas dengan intubasi endotrakheal atau formal
tracheostomy. Penemuan terbaru untuk situasi darurat obstruksi jalan napas
adalah penggunaan Combi-Tube yang telah menggantikan Esophageal
Obturator Airway yang kini kurang dapat dipercaya. Cricothyroidotomy
juga dapat dilakukan dengan cepat pada pasien apnu, sedang tracheostomy
dengan pembedahan formal membutuhkan terlalu banyak waktu dalam situasi ini.
Beberapa
pilhan lain dapat dipertimbangkan untuk mempertahankan jalan napas pada situasi
yang kurang darurat. Intubasi nasotrakheal dapat dilakukan pada pasien yang
sadar dan kooperatif, tetapi metode ini jarang dipakai pada kasus trauma akut.
Karena adanya stimulasi gag reflex yang menyebabkan muntah dan aspirasi, serta
adanya epistaksis yang dapat mengaburkan visualisasi selama usaha intubasi
berikutnya. Lagi pula intubasi nasal dapat mengubah obstruksi jalan napas
parsial menjadi obstruksi total dengan cepat. Karena penelitian telah
menunjukkan bahwa intubasi orotrakheal direk dapat dikerjakan secara aman
dengan stabilisasi cervical manual, maka ada sedikit dorongan untuk mencoba
jalan nasal pada pasien-pasien ini. Pilihan lainnya dengan bantuan fiberoptik,
retrograde, dan blind oral intubation
yang menggunakan stylet intubasi atau light-wand. Sebenarnya
pemilihan tehnik tergantung pada tingkat kebutuhan, keadaan anatomi pasien,
kerusakan yang ada, dan terutama adalah tergantung keterampilan dari intubator
sendiri.
Pertanyaan
bagaimana dan kapan kita menyatakan tulang belakang cervical “bebas” dari
kerusakan adalah penting pada pasien trauma tumpul, khususnya pada korban
kecelakaan kendaraan bermotor. Intubasi harus segera dilakukan dengan
menggunakan stabilisasi manual bila pasien mengalami obstruksi jalan napas,
apnu, syok, atau mengalami perubahan status mental dengan cepat. Bila pasien
sadar dan kooperatif, diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan neurologi dan
foto lateral cervical. Jika pemeriksaan normal dan hasil foto dengan
visualisasi yang adekuat pada C-7 (T-1) tidak memperlihatkan adanya kerusakan,
maka tulang belakang cervical dapat dianggap normal untuk tujuan penanganan
jalan napas. Bila C-7 tidak terlihat, pengambilan foto dapat diulang sekali
lagi jika waktu mengizinkan. Pada pasien koma, tulang belakang cervical tidak
dapat dinyatakan “bebas” hanya dengan menggunakan foto satu posisi.
Obat
anestesi atau relaksan otot yang dibutuhkan untuk mempertahankan jalan napas
pada pasien trauma, harus digunakan secara hati-hati. Obat-obatan mungkin
diperlukan untuk memudahkan intubasi pada pasien nonkooperatif dan sensitif
atau untuk indikasi mencegah peningkatan tekanan intrakranial pada pasien
trauma kepala. Bila obat hipnotik seperti Thiopental harus digunakan pada
pasien trauma, maka satu-satunya pilihan adalah dengan cara induksi cepat. Hal
ini dapat meminimalkan resiko aspirasi, tapi bisa pula menyebabkan perubahan
hemodinamik yang tidak dapat ditolerir oleh pasien hipovolemi. Pasien dengan
penurunan volume intravaskuler 20-30% mungkin memiliki TD normal pada posisi
supine, tetapi pemberian thiopental 4-5 mg/kg I.V. pada pasien ini dapat
menyebabkan cardiac arrest. Obat alternatif pada pasien hipovolemi
moderat adalah thiopental dosis rendah (1-2 mg/kg), etomidate, dan ketamin.
Etomidate, 0,2-0,3 mg/kg I.V. dapat menurunkan TD di bawah dosis equipoten
thiopental. Tetapi, seperti thiopental, etomidate menyebabkan depresi miokard
dan juga bersifat supresi terhadap adrenokortikal. Ketamin 1-2 mg/kg I.V.
cenderung mempertahankan TD dengan sifat simpatomimetiknya, yang juga memberi
efek bronkodilatasi. Dengan pengeluaran simpatis yang maksimum, efek depresi
miokard akan bermanifestasi secara langsung pada pasien hipovolemi. Ketamin
dikontraindikasikan pada pasien trauma kepala karena ia potensial meningkatkan
TIK. Pasien dengan gejala klinik syok yang jelas, sebaiknya tidak diberi
obat-obat hipnotik. Pada kasus ini intubasi sebaiknya dilakukan dengan
menggunakan relaksan otot, baik secara tunggal atau dikombinasi dengan dosis
kecil narkotik (misalnya fentanyl, 1-3 ug/kg).
Semua
obat yang digunakan untuk memudahkan intubasi sebaiknya diberikan secara
intravena, dalam hal ini pemberian melalui vena sentral lebih disukai. Bila
pemberian melalui vena tidak dapat dilakukan dan intubasi harus segera
dikerjakan, maka ketamin dan suksinilkolin (SCh) dapat diberi secara IM. Ini
meruapakan alternatif yang kurang menyenangkan karena absorpsi menjadi lambat,
dan beberapa menit mungkin berlalu sebelum dicapai kondisi intubasi yang memadai.
Cara yang lebih masuk akal, terutama dilakukan pada anak-anak, adalah pemberian
cairan dan obat ke dalam sumsum tulang di bawah tibial plateau yang
dimasukkan melalui jarum berukuran 16-18.
MONITORING
Semua
pasien trauma sebaiknya dilengkapi dengan monitor noninvasif standar, termasuk
EKG, sphygmomanometer otomatis, stetoskop, pengukuran temperatur (rektal atau
esofageal), pulse oximeter, dan capnograph. Capnograph terutama berguna
bila dilengkapi dengan data gas darah arterial, karena perubahan gap antara
PetCO2 dan PaCO2 akan mengindikasikan perubahan dalam alveolar dead space,
yang menggambarkan pula perubahan status volume. Dan juga pada semua pasien
trauma sebaiknya dipasang suatu kateter Foley dan urometer untuk terus memantau
pengeluaran urin. Kita menganjurkan penggunaan kateter arteri radialis untuk
operasi laparotomi, torakotomi, dan kraniotomi, juga kerusakan perifer yang
kehilangan banyak darah. Operasi harus dimulai tanpa arterial line jika nadi tidak teraba atau bila tidak cukup
waktu untuk melakukan kanulasi. Arteri brakialis dan aksillaris dapat digunakan
untuk kanulasi bila nadi arteri radialis tidak teraba, dan keduanya lebih
disukai daripada kanulasi arteri femoralis.
Pemasukan
melalui vena sentral sangat diperlukan pada beberapa kasus, termasuk pada
pasien yang kehilangan banyak darah atau pada transfusi. Penggunaan vena
jugularis interna lebih disukai, walaupun vena subklavia juga dapat digunakan
secara hati-hati (untuk menghindari terjadinya pneumotoraks). Penggunaan vena
femoralis dikontraindikasikan pada
pasien dengan perdarahan intraabdominal, tetapi dapat digunakan pada pasien
yang hanya mengalami trauma kepala atau anggota gerak. Kateter vena sentral
sebaiknya dari tipe introducer, yang mengikuti jalan kateter arteri pulmonalis
melalui sebuah kantung. Kateterisasi PA dapat dipertimbangkan jika ada
pendarahan masif atau pada transfusi, adanya gangguan fungsi ventrikel kiri,
edema pulmonal, atau sepsis. Bila dokter bedah memerlukan keteter PA untuk
penanganan post-operative, maka sebaiknya kita memasukkan kateter tersebut
dalam ruang operasi dan menggunakannya secara intraoperative. Oximetry arteri
pulmonalis, yang mengukur saturasi oksigen vena, juga dapat membantu
mengevaluasi hubungan persediaan-kebutuhan oksigen secara menyeluruh. Oximetry
arteri pulmonalis tidak menambah resiko dan kita hanya perlu menambah $50 untuk
harga disposible.
Transcutaneous
oxygen (PtcO2) dapat bermanfaat pada pasien-pasien trauma, yang merupakan
monitor penghantaran oksigen jaringan. Ia sensitif terhadap kadar oksigen
arteri dan perfusi kulit, dan akan menggambarkan bila ada penurunan dari
keduanya. Ia akan memperingatkan bila PaO2 cenderung menurun, lama sebelum pulse
oximetry memperlihatkan penurunan saturasi, dan juga akan menunjukkan bila
terjadi penurunan cardiac output atau hipovolemi.
INDUKSI DAN MAINTENANCE ANESTESI
Semua
obat anestesi bersifat racun, dan pada pasien trauma indeks terapeutik mereka
menjadi lebih rendah. Dosis induksi thiopental yang aman pada seorang pasien
sehat, mungkin dapat mematikan pada pasien yang sama setelah mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor. Seleksi obat dan dosis yang aman sangat sulit
ditentukan pada pasien-pasien trauma, dimana status volume tidak diketahui
secara pasti. Walaupun banyak faktor yang berpengaruh dalam pemilihan obat
induksi pada pasien trauma, tetapi faktor yang paling penting adalah status
volume dari pasien :
a.
Defisit volume kurang dari 10%;normotensi :
Thiopental dan suksinilkolin (SCh) dengan induksi cepat biasanya aman.
b.
Kehilangan darah 10-20%;
normotensi : HR<110 : Ketamin (1-2 mg/kg) atau etomidate (0,2-0,3 mg/kg) dan
SCh dengan induksi cepat. Hindari ketamin pada pasien dengan trauma kepala
tertutup atau yang potensial menimbulkan peningkatan TIK. Waspada terhadap
terjadinya supresi adrenal pada penggunaan etomidate, meskipun arti kliisnya
pada pemberian dosis tunggal tidak jelas.
c.
Kehilangan darah >25%;
hipotensi (TD sistol <90) dengan takikardi,
distres pernapasan, anuria, ekstremitas dingin: Jangan menggunakan
obat-obat di atas!! Beberapa induksi anestesi akan gagal pada pasien ini. Bila
mereka harus menjalani pembedahan sebelum dilakukan resusitasi volume, maka
sebaiknya intubasi dilakukan secara cepat dengan SCh, tanpa atau dengan dosis
rendah fentanyl (1-2 mcg/kg) atau midazolam (0,02-0,03 mg/kg).
Pada beberapa kasus di atas, kita harus mengetahui kontraindikasi
dan efek samping dari SCh. Walaupun semua itu potensial berbahaya, namun SCh
tetap merupakan relaksan otot yang paling aman untuk mempertahankan jalan napas
secara cepat pada pasien trauma termasuk pasien dengan penigkatan TIK atau
dengan trauma mata terbuka.
Setelah induksi anestesi lengkap dan jalan napas terjamin, kita juga
harus menguji respon pasien terhadap obat-obat pendepresi jantung. Pemilihan
obat maintenance yang akan kita gunakan, harus didasarkan pada respon tersebut.
Hal ini berkisar dari penggunaan narkotik pada pasien hipovolemi yang tidak
stabil sampai penggunaan obat anestesi yang mudah menguap dan nitrous oxide
pada pasien yang sangat stabil tanpa perdarahan lanjut. Kita harus bersiap
mengubah tehnik pemberian maintenance dengan cepat selama anestesi berlangsung,
bila kondisi dan respon pasien berubah.
TERAPI CAIRAN
Pasien
trauma sering berada dalam keadaan hipovolemi pada saat pertama kali ditemukan,
dan kehilangan darah ini biasanya terus berlanjut atau bahkan bertambah buruk
selama anestesi. Lagi pula obat-obat anestesi dapat memperburuk status volume
fungsional dengan meningkatkan kapasitas intravaskuler. Status volume harus
dimonitor secar kontinyu, dan terapi cairan diubah secara kontinyu pula sampai
ada respon perbaikan dari penderita.
Syarat
utama terapi cairan adalah penambahan volume intravaskuler yang adekuat, dimana
pada pasien trauma hal ini sulit dipenuhi. Bila pemberian tidak dapat dilakukan
segera karena keadaan hipovolemi, maka cairan dapat diberikan melalui sebuah
jarum intraosseus yang dimasukkan ke dalam sumsum tulang tibia, seperti telah
dijelaskan sebelumnya. Metode ini terutama sukses dilakukan pada anak-anak.
Pemasukan melalui vena sentral sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Bila Military
Anti-Shock Trousers (MAST) berada
ditempatnya, sebaiknya tekanan tidak diturunkan sampai resusitasi cairan
mengalami kemajuan dan monitor telah berfungsi. Tekanan pengikat perut
sebaiknya diturunkan sebelum tekanan pada kaki diturunkan secara perlahan.
Semua
cairan yang akan digunakan dalam resusitasi perlu dihangatkan pada suhu 370C.
Kebanyakan pasien trauma mengalami hipotermi ketika sampai di RS, dan
resusitasi dapat memperburuk kondisi ini bila cairan intravena tidak
dihangatkan. Alat pengukur tekanan udara sebaiknya tersedia saat dilakukan
pemasukan cairan dengan cepat. Sistem penghangat cairan dan infusi yang memuaskan harus mampu
memberi satu unit darah (450 ml) dalam waktu 2 menit atau kurang.
Pada
pasien trauma, prioritas utama dalam penanganan cairan adalah
perbaikan volume sirkulasi. Pasien
trauma yang sebelumnya sehat sepertinya tidak mungkin meninggal dengan cepat
akibat anemia, tetapi dapat meninggal
akibat syok hipovolemik. Bila status volume telah stabil, prioritas kedua
perbaikan kapasitas darah dalam mengangkut O2. Karena darah tersebut
belum tersedia secara komersil, maka dalam hal ini diperlukan transfusi sel
darah merah (RBC’s). Prioritas ketiga adalah menormalkan fungsi koagulasi, dimana
diperlukan transfusi trombosit, fresh frozen plasma, atau komponen darah
lainnya.
Pada
dasarnya resusitasi awal bertujuan untuk mencapai volume sirkulasi yang
adekuat. Hal yang perlu diingat oleh seorang dokter adalah bahwa : (1) darah
yang hilang secara akut biasanya
dianggap remeh, (2) jaringan yang hilang selama tindakan pembendahan berjumlah
4 – 8 ml/kg/hari, (3) penggantian kristaloid harus sebanyak 2 – 3 kali volume
darah hilang, (4) banyak obat anestesi yang meningkatkan kapasitas intravaskuler.
Semua faktor ini menyebabkan penggantian volume menjadi tidak adekuat, yang
berakibat lanjut terjadi hipoperfusi organ vital, gagal ginjal akut, asidosis
yang bertambah buruk, dan kollaps kardiovaskuler. Di lain pihak, pemberian
cairan yang terlalu banyak dapat memberikan beban volume yang berat dan edema
pulmonal ringan di recovery room. Pada pasien trauma, pemberian cairan
yang terlalu banyak lebih aman daripada cairan yang terlalu sedikit. Kita
menegaskan bahwa pemberian Lasix dalam recovery room lebih disukai daripada
pemberian resusitasi kardiopulmonal dalam ruang operasi.
Pada korban trauma,
cairan intravena pertama yang biasa diberikan adalah kristaloid. Larutan
kristaloid dapat mengganti volume secara cepat dengan elektrolit yang seimbang,
tidak bersifat alergik, imunogenik, atau toksik. Kristaloid cepat mengembalikan
pengeluaran melalui urin, mempertahankan viskositas darah, jarang menimbulkan
overload karena dikeluarkan dengan cepat. Di lain pihak, kristaloid tidak
mengangkut O2, dan didistribusikan ke seluruh cairan ekstraseluler
dalam waktu 1 jam, dengan demikian lebih dikontribusikan ke perifer dan
memudahkan terjadinya edema pulmonal; kristaloid dapat menyebabkan dilutional
coagulopathies; dan dibutuhkan volume infusi yang lebih besar daripada
menggunakan cairan koloid (2 –3 kali volume darah hilang). Beberapa penelitian
terakhir menganjurkan pemberian larutan garam hipertonik dalam resusutasi awal,
tetapi teknik ini mempunyai komplikasi dan sampai sekarang belum diterima secara
luas.
Larutan koloid
meliputi semua produk darah, high-molecular-weight dextran, albumin, dan
larutan hetastarch seperti Hespan. Koloid dapat mengangkut O2 dan
mengganti faktor koagulasi yang hilang; mereka menetap lebih lama di
intravaskuler dan menimbulkan lebih sedikit edema; mereka meningkatkan cardiac
output lebih dari kristaloid; dan dapat mengganti apa yang hilang; whole blood.
Sisi negatifnya, koloid dapat menimbulkan reaksi imun dan alergi; beberapa
koloid memberikan resiko infeksi (hepatitis, HIV); menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, dan beberapa mempunyai efek toksik (toksik
terhadap sitrat dan nefron, masalah reaksi silang, koagulopati). Reaksi
transfusi dari produk darah yang inkompatibel merupakan komplikasi yang
mengancam hidup pada pasien trauma. Kontroversi antara penggunaan kristaloid
dan koloid akan terus berlanjut, dan belum ada penelitian yang dapat membantu
salah satu argumen tersebut.
Walaupun volume
yang hilang dapat dikoreksi baik dengan kristaloid maupun koloid, gangguan daya
angkut O2 dan gangguan koagulasi hanya dapat dikoreksi dengan
koloid. Whole blood dengan fully
crossmatched adalah produk pengganti
yang ideal untuk perdarahan akut, tetapi produk ini sering tidak tersedia. Bila
partially crossmatched atau O-negative
blood harus digunakan dalam keadaan darurat, lebih aman untuk menggunakan packed
erythrocytes (PRBC’s) untuk meminimalkan transfusi antibodi plasma. Saat
menggunakan PRBC’s untuk memperbaiki daya angkut O2, kita sebaiknya
tidak mempercayai perubahan awal nilai Hb pada saat trasfusi dimulai. Nilai Hb
yang dapat diterima bergantung pada penyakit atau jenis luka, kesehatan pasien
secara umum, dan kecepatan hilangnya darah. Pada pasien muda dan sehat yang
mengalami amputasi traumatik tanpa perdarahan lanjut, nilai Hb 8 mungkin masih
dapat diterima. Pasien yang sama dengan perut membengkak dan kaku, sebaiknya
menerima transfusi darah pada saat insisi.
Koagulopati
terbanyak pada pasien trauma adalah dilutional thrombocytopenia, yang terjadi akibat penggantian darah yang
hilang dengan komponen lain dari whole blood. Jumlah trombosit di dalam ruang
operasi harus dipertahankan di atas 70.000. Pada pasien yang sebelumnya sehat,
jumlah trombosit akan tetap berada di atas nilai tersebut sampai mereka
mendapat lebih dari satu volume darah lengkap. Trombosit yang tersimpan dalam
limpa dan sistem retikuloendotelial akan dilepaskan selama stres, menyebabkan
penurunan jumlah trombosit dari darah yang hilang menjadi lebih kecil dari yang
diperkirakan.
Defisiensi fibrinogen
dan faktor koagulasi lain biasanya nampak lebih lambat dari trombositopeni, dan
pemberian terapi pengganti sebaiknya berdasarkan pengukuran nilai laboratorium
seperti Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT). Dalam hal
yang lebih khusus, fresh frozen plasma tidak ditransfusikan berdasar pada
jumlah unit PRBC’s yang diberikan, dan jangan pernah menggunakannnya sebagai
volume expander. Bila terjadi perdarahan pasif yang tidak terkontrol, maka ahli
anestesi dan bedah harus mengatisipasi kebutuhan komponen darah, serta
memperhitungkan waktu yang dibutuhkan oleh bank darah untuk menghasilkan
komponen tersebut.
KOMPLIKASI
Beberapa
komplikasi yang mengancam hidup dapat terjadi pada pasien trauma, yang akan
kita diskusikan di sini adalah dua diantaranya yang sering terjadi. Komplikasi
lain adalah reaksi transfusi dan obat, aspirasi pulmonal, gagal ginjal akut,
dan sadarnya pasien saat anestesi berlangsung.
Disseminated Intravasculer Coagulation
Selain dilutional
coagulopathy yang lebih umum ditemukan, pasien trauma beresiko pula untuk
mendapatkan DIC atau “consumption coagulopathy”. Tanda dari proses ini
adalah adanya pengaktifan seluruh komponen pembekuan, yang menyebabkan
meningkatnya konsumsi trombosit, fibrinogen, faktor V dan VIII. Hal ini
menyebabkan perdarahan difus yang tidak terkontrol dari seluruh lapangan
pembedahan, dan mungkin disertai dengan trombosis intravaskuler dan iskemia
organ. Pembentukan fibrin intravaskuler mengaktifkan sistem fibrinolitik, yang
menyebabkan peningkatan fibrin-split products (FSP), yang menghasilkan disfungsi trombosit.
Diagnosis DIC harus dikonfirmasi dengan bukti klinik adanya perdarahan,
disertai penurunan jumlah trombosit, penurunan level fibrinogen (biasanya
kurang dari 150 mg/dL), dan ditemukannya FSP. PTT pada umumnya abnormal akibat
penggunaan faktor V dan VII. DIC dapat terjadi tanpa disertai peningkatan FSP,
karena FSP cepat menghilang dari sirkulasi oleh aktivitas hepar.
DIC nampaknya
dipacu oleh suatu phospolipid yang secara normal tidak ditemukan dalam
sirkulasi yaitu : faktor III tromboplastin jaringan. Substansi ini dilepaskan
pada saat trauma langsung pada jaringan, syok, atau luka bakar. Selama
phospolipid ini bersirkulasi, proses DIC akan terus berlangsung. Oleh karena
itu, terapi terutama ditujukan untuk
mengatasi penyebab dasarnya, dimana hal ini lebih mudah diucapkan
daripada dilaksanakan. Pada trauma atau luka bakar yang serius, kerusakan
endotel vaskuler biasanya tidak dapat dihentikan. Langkah kedua dalam terapi
DIC adalah penggantian komponen darah yang telah digunakan terutama trombosit,
fibrinogen, faktor V dan VIII. Maka dibutuhkan transfusi konsentrat trombosit,
fresh frozen plasma, dan ada kalanya cryoprecipitate. Tujuan dari terapi pengganti adalah mempertahankan
jumlah trombosit paling kurang 100.000, PTT yang normal, level fibrinogen
paling kurang 200 mg/dL. Langkah ketiga dalam terapi DIC adalah penggunaan
heparin, untuk pasien dengan gangguan komponen pembekuan, tetapi tidak untuk
pasien yang sedang menjalani pembedahan.
Hipotermi
Pada pasien trauma, hipotermi kadang tidak dapat dihindari karena
kebanyakan mereka mengalami hipotermi sebelum sampai di ruang operasi, dan
anestesi lanjut berkompromi terhadap mekanisme termoregulator mereka. Anestesi
juga mengurangi vasokontriksi kutaneus, yang secara normal membantu menyimpan
panas, sedang relaksan otot menghambat respon untuk menggigil.
Hipotermi mempunyai
beberapa efek psikologi, dimana sebagian kecil mungkin bermanfaat pada pasien
dengan penyakit kritis. Metabolisme menurun sekitar 8% per derajat Celcius, dan
mencapai 1 ½ kali dari nilai normal pada suhu 280C. Kebutuhan O2
menurun secara bersamaan, sehingga perfusi organ yang menurun dapat lebih
ditolerir. Aliran darah juga berpindah dari ekstremitas dan otot, dengan fraksi
perfusi yang lebih besar pada jantung
dan otak. Penurunan cardiac output yang disertai dengan sinus bradikardi
mungkin bermanfaat dalam keseimbangan suplai-kebutuhan O2 mikard.
Pada pasien trauma
yang menjalani pembedahan, manfaat hipotermi lebih nampak bila dibandingkan
dengan efek merugikannya. Di samping sinus bradikardi, EKG mungkin
memperlihatkan fibrilasi atrium, perpanjangan interval PR dan QT, dan pelebaran
gelombang QRS. Dibawah suhu 280 C, terjadi disritmia yang lebih
serius, yang meliputi irama nodus, kontraksi prematur ventrikular yang frekuen,
blok atrioventrikular, dan fibrilasi ventrikel yang refrakter. Peningkatan
tonus simpatis dapat menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan TD sedikit di
bawah level anestesi. Meningkatnya kontraktilitas miokard selama penurunan
temperatur, mencapai puncaknya pada suhu 280 C. Hipoksia akibat
vasokonstriksi pulmonal dapat dikurangi oleh hipotermi dan pada suhu 300
C menjadi kurang 1 ½ kali dari respon normal. Volume plasma menurun akibat
adanya pergeseran cairan transkapiler, yang dapat memperburuk keadaan hipotermi
yang telah ada sebelumnya. Viskositas darah meningkat, baik akibat efek
langsung dari temperatur maupun hemokonsentrasi yang terjadi akibat penurunan
volume plasma. Sesuatu yang istimewa menyangkut pasien trauma adalah hipotermi
dapat menyebabkan disfungsi trombosit dan trombositopeni, dengan hasil akhir
sequestrasi trombosit di dalam hepar. Kedua hal itu biasanya reversibel dengan
penghangatan. Efek hipotermi terhadap faktor koagulasi lainnya belum jelas,
tetapi hipotermi berat mungkin menyebabkan terjadinya DIC.
Hipotermi asidental
dapat membahayakan, khususnya pada pasien trauma, setiap usaha harus ditujukan
untuk mencegah atau mengoreksi keadaan tersebut. Ruang operasi harus senantiasa
hangat, semua cairan intravena sebaiknya dihangatkan pada suhu 370
C, dan warming blanket ditempatkan di antara pasien dan meja operasi.
KESIMPULAN
Pasien-pasien trauma biasanya mengalami penurunan fungsi
kardiopulmonal. Stres yang ditimbulkan oleh anestesi umum atau regional mungkin
lebih besar dari yang dapat ditolerir oleh pasien. Untuk meminimalkan resiko
anestesi pada korban trauma, maka ahli anestesi harus mengetahui sebanyak
mungkin mengenai keadaan luka, status resusitasi, dan penyakit lain yang dimiliki
oleh pasien. Ia harus mengerti prosedur pembedahan yang tepat, resiko dan stres
penyerta yang mungkin terjadi. Rencana anestesi harus memperhitungkan
faktor-faktor ini, baik dalam penggunaan obat ataupun dalam monitoring.
Resusitasi cairan merupakan suatu tantangan karena sering terjadi perubahan
status volume dengan cepat dan tidak dapat diprediksikan, dan karena resusitasi
pre-operative yang tidak komplit. Komplikasi yang mungkin terjadi harus
diantisipasi, dan pemilihan terapeutik yang tepat (misalnya produk darah)
sebaiknya telah tersedia sebelum prosedur dimulai. Dan yang terpenting, ahli
anestesi harus dimiliki kewaspadaan yang tinggi dan jangan cepat merasa puas,
walaupun pasien tampak stabil.
Tabel 1 : Kriteria
pelaksanaan intubasi endoktrakheal dan ventilasi mekanik secara dini pada
pasein.
1.
Cardiac arrest
2.
Tanda klinik syok : hipotensi,
anuria, dispnu, konfusi, ekstremitas dingin, sianosis.
3.
Hipoksia
4.
Hiperkarbia
5.
Tanda-tanda peningkatan obstruksi jalan napas.
6.
Trauma kepala dengan perubahan
atau penurunan status mental
7.
Luka bakar dengan rambut nasal
yang hangus atau jelaga di dalam jalan napas
8.
Combativeness
9.
Trauma.
Belum ada tanggapan untuk "Anestesi Untuk Trauma-Sebuah Pandangan Baru"
Post a Comment