Desentralisasi pendidikan sebuah
solusi ditinjau dari sudut Filsafat Pendidikan.
Kebijakan Pemerintah
menerapkan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi berupa perubahan yang sangat
mendasar dalam tata laksana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perubahan ini
bagi daerah yang telah siap merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu untuk
mengoptimalkan potensi daerah yang selama ini tertinggal. Dalam hal ini
Kabupaten dan Kota merasa terikat sistem yang membatasi gerak untuk memajukan
potensi daerahnya masing-masing akibat kebijaksanaan yang sentralistik pada
pemerintahan pusat, termasuk potensi daerah untuk mengembangkan pelayanan
pendidikan bagi warga daerahnya.
Di sisi lain bagi daerah
yang belum memiliki kesiapan baik dari segi pembiayaan maupun SDM
desentralisasi pendidikan menjadi beban berat yang harus dipikul sendiri.
Kesenjangan kemampuan antar daerah dalam menangani permasalahan pendidikan
adalah masalah tersendiri disamping kesejelasan pengaturan mekanisme pengawasan
pusat dan daerah yang berpotensi menimbulkan conflict of interest, atau
konflik kepentingan antara aparat pusat dengan daerah.
Desentralisasi sebagai solusi
Sistem sentralisasi
penyelenggaran pendidikan yang selama ini diterapkan, dinilai menghambat
potensi daerah untuk mengembangkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan
kondisi daerah tersebut, apalagi bila dihadapkan pada kenyataan adanya
kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah yang kemudian bermuara pada
rendahnya mutu sumber daya manusia di daerah yang selama ini terpinggirkan,
membuat perasaan tak puas itu semakin menyeruak. Penerapan desentralisasi
pendidikan diharapkan mampu memaksimalkan potensi daerah dalam mengembangkan
penyelenggaraan pendidikan agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang
tangguh dan berdaya saing tinggi disetiap daerah, sehingga mutu hasil
pendidikan secara nasional juga akan meningkat.
Personel di daerah
menganggap pengelolaan pendidikan yang sentralistik di mana peran pusat sangat
dominan dalam berbagai hal, menimbulkan stagnasi dalam prakteknya di lapangan.
Kreativitas layanan pendidikan mandek, improvisasi aparat pendidikan daerah pun
tumpul. Inisiatif menjadi peristiwa langka karena daerah lebih khusus lagi pihak
sekolah sebagai institusi pendidikan di garda depan cenderung bersifat pasif.
Pengelolaan yang sentralistik dikhawatirkan malah melahirkan aparat pendidikan
yang membeo dan statis. Mereka hanya bekerja atas dasar petunjuk pelaksana
(juklak) dan petunjuk teknis juknis dari pusat, selebihnya tingal “nrimo”.
Semestinya hal itu bisa
dihindari, merujuk paa keserasian kerjasama antara aparat instansi terkait yang
seharusnya mampu dicapai tanpa melihat apakah yang bersangkutan adalah orang
pusat atau daerah adalah prasyarat mutlak untuk keberhasilan tujuan pendidikan
nasional.
Gagasan untuk
melahirkan aparat pendidikan yang profesional hanya ramai dalam wacana di
forum-forum seminar, lokakarya, dan penataran-penataran. Istilah profesional
hanya tinggal sebagai sebutan yang latah diucapkan dibibir, lip services namun
dalam praksis pendidikan ternyata masih jauh panggang dari api.
Kenyataan empirik tersebut
semakin diimbuhi berbagai ketidakpuasan orang-orang daerah terhadap berbagai
dampak negatis sistem sentralisasi yang mendorong perlunya pemikiran me-reform
paradigma dalam mengelola pendidikan nasional.
Pada titik nadir inilah
muncul gagasan agar pengelolaan pendidikan didesentralisasikan. Selain untuk
menjawab kelemahan dalam sistem sentralisasi terutama pada tingkat pendidikan
dasar yang selama ini kurang memberdayakan masyarakat, gagasan desentralisasi
dilandasi pemikiran untuk lebih mengakomodir semangat demokrasi dalam
pendidikan.
Mengacu pada konteks ini
wacana desentralisasi pendidikan semakin mendapat tempat. Desentralisasi
pendidikan diyakini sebagai langkah strategis sekaligus mengeliminir berbagai
kelemahan dan dampak negatif dari sistem yang sentralistik.
Dalam catatan Bank Dunia
(1998), pembangunan pendidikan di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir
menghadapi kendala besar dan serius. Ada empat masalah mendasar yang
menjadi penghambat paling nyata bagi kemajuan pendidikan di Indonesia,
diantaranya menyangkut manajemen pendidikan yang bersifat sentralistik terutama
yang berkaitan dengan penentuan program, perencanaan dan pembangunan pembiayaan
pendidikan.
Amich Alhumani dari Research
Institute for Culture and Development (Kompas 11 September 2000) secara
khusus mencatat berbagai temuan empiris yang menjadi dasar yang amat kuat untuk
menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan. Bahkan, kata Amich, secara
filosofis sosiologis kebijakan desentralisasi pendidikan merupakan pilihan
strategis pembangunan pendidikan di masa depan.
Pucuk dicinta ulam pun
tiba. Ketika wacana ini bergulir, lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah atau UUPD 1999 yang secara politis mereduksi peran
pemerintah pusat dalam penyelenggaran administrasi pemerintahan. Secara
finansial, undang-undang otoda itu didukung UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UUPK 1999) yang mengatur
pembiayaan penyelenggaran otonomisasi di daerah.
Konsepsi Otonomi Daerah
Terkait dengan isi dari
UUPD 1999 yakni memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang
diberikan itu bersifat utuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Tujuannya ialah untuk
mendorong pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas.
Serta meningkatkan peran serta masyarakat, dalam mengembangkan peran dan fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ada tiga macam dasar
pemikiran yang mendasar UUPD 1999 ini, Pertama, adalah dalam
rangka memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Kedua, penyelenggaraan otoda itu diharapkan dilakukan
dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan
kemandirian, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, menjaga
keserasian hubungan pusat dan daerah serta meningkatkan peran dan fungsi
legislatif, asas dekonsentrasi yang diikuti dengan dukungan pembiayaannya. Ketiga,
itu semua guna menghadapi tantangan persaingan global dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional.
Pemerintah kemudian
memutuskan segera memberlakukan UU tersebut sebagai landasan hukum pelaksanaan
otonomi daerah itu, di mana peran dan fungsi pemerintah daerah menjadi lebih
besar dalam berbagai hal termasuk di bidang pendidikan.
Tantangan Masa Depan
Perubahan sistem
pemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem yang lebih desentralistik
menghasilkan kebijakan utama pembangunan pendidikan nasional meliputi tiga
aspek, yakni Pertama, melanjutkan upaya pemulihan prgram
pendidikan dari dampak krisis ekonomi dan moneter. Kedua,
mempertahankan mutu pendidikan yang telah dicapai agar tetap responsif terhadap
perkembangan lingkungan, dan; Ketiga, melaksanakan reformasi di
bidang pendidikan secara bertahap.
Dari ketiga kebijakan utama
tersebut maka kebijakan reformasi pendidikan secara bertahap termasuk hal yang
paling mengemuka demi mempersiapkan pelaksanaan otonomi daerah di bidang
pendidikan, terutama yang menjadi problema krusial adalah pelayanan pendidikan
dasar.
Terlebih lagi pendidikan
dasar menjadi begitu penting sebagai manifestasi pelayanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar setiap warga negara yang dapat diperoleh secara merata dan bermutu.
Disamping itu, pendidikan dasar juga merupakan kepentingan nasional sebagai
upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam tujuan
nasional yang dicita-citakan oleh Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai kepentingan
tersebut, pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menekankan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak mendapatkan pengajaran. Kepentingan nasional yang utama lainnya adalah
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dalam rangka
mendorong terciptanya manusia unggulan nasional agar mampu ikut dalam
persaingan global yang semakin berat.
Persoalan yang bakal
dihadapi dalam pelaksanaan otoda adalah bagaimana pemerintah Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota melalui sumber pembiayaan yang berbeda namun tetap dapat
menjamin agar tiap-tiap warga negara berhak memperoleh pengajaran tersebut.
Bisa diterjemahkan dalam bentuk penjaminan bahwa wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun dapat dituntaskan di semua Kabupaten dan Kota dalam waktu yang
relatif sama sehingga menjamin sebagian besar penduduk Indonesia minmal
mengenyam pendidikan tingkat SLTP, meskipun kemampuan dan potensi daerah
berbeda.
Permasalahan yang lumayan
pelik itu dapat dicarikan jalan keluar dengan segera. Tujuannya, memberdayakan
dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan
daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung
jawab dan pasti; dan mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah yang jelas.
Sementara itu peranan
daerah propinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wilayah administrasi lebih
terbatas dengan perimbangan sumber keuangan yang lebih sedikit.
Karenanya pemerintahan
daerah kabupaten dan daerah kota akan memegang penaran penting dalam
pelaksanaan keberhasilan pendidikan nasional. Pelayanan pendidikkan diharapkan
bisa lebih cepat, lebih efisien dan efektif serta lebih menegakkan aparat yang
bersih dan berwibawa.
Problema potensial di
Indonesia, selain merosot juga semakin tingginya kesenjangan mutu pendidikan.
Potensi merosotnya mutu pendidikan dapat terjadi apabila setelah diotonomikan
di daerah anggaran pendidikan yang diterima tidak dicukupi daerah dan tidak
didukung oleh pengelolaan pendidikan yang profesional.
Solusi Efisiensi Otonomisasi
Pendidikan
Kualitas sumber daya manusia
diharapkan dapat dipacu melalui pengelolaan pendidikan yang efisien di tengah
kondisi keterbatasan sumber dana yang dibagi-bagi pada daerah otonom.
Efisiensi yang dimaksud
mencakup efisiensi pengelolaan, technical efficiency. Pengalaman di
beberapa negara menunjukkan bahwa dengan otonomi daerah justru biaya
operasional pendidikan meningkat, seperti yang terjadi di Kanada dan Papua New
Guinea. Peningkatan beban itu bisa pula disebabkan karena personel
pengelolaannya tidak mampu melaksanakan tugas baru ini, apalagi bila dihadapkan
Indonesia yang sudah terbiasa selama 32 tahun menganut sistem pengelolaan yang
sangat sentralistik.
Menurut Muljani A.
Nurhadi, Inspektur Jenderal Depdiknas, solusi yang bisa ditawarkan untuk
mengurangi biaya pemborosan baik dalam pengelolaan maupun operasional,
diantaranya dengan melakukan perampingan organisasi pengelola pendidikan.
Kemudian membatasi biaya pengelolaan pendidikan di kantor dan di sekolah.
Bisa pula dengan mengaitkan
biaya paket bantuan dengan pencapaian hasil pendidikan. Jumlah pegawai tetap
dan menggunakan jasa pegawai kontrakan untuk melaksanakan tugas-tugas
insidental. Melakukan penggabungan terhadap pengadaan komponen pendidikan yang
lebih efisien dilakukan bersama-sama daripada sendiri-sendiri, misalnya pengadaan
buku pelajaran dan guru.
Sementara tugas pemerintah
pusat lebih banyak pada penyusunan perencanaan nasional dan pengendaliannya,
penetapan berbagai standar dan persyaratan, serta penetapan kalender pendidikan
dan jumlah jam belajar efektif per tahun.
Paradigma baru Pengawasan
Kebijakan otonomi daerah
terkait pula dengan upaya pemberdayaan aparat pengawasan baik di pusat maupun
di daerah. Tak kalah pentingnya pula untuk mensinergikan peran masing-masing
demi menghindarkan diri dari adanya konflik kepentingan. Dalam hal ini peran
pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah pusat atas penyelenggaraan
pemerintah daerah yang antara lain mengatur peran; Pemerintah (Inspektorat
Jenderal Departemen) melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah,
pemerintah dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah.
Pemerintah juga melakukan
pengawasan secara represif terhadap kebijakan pemerintah daerah dan atau
keputusan kepala daerah serta keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Termasuk fungsional terhadap
pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah.
Inspektorat Jenderal
memfasilitasi aparat pengawasan daerah, dalam hal ini Bawasda dan pejabat
fungsional pada dinas yang mempunyai tugas mengawasi substansi. Wujud
fasilitasi ini dapat berupa pemberian pedoman, bimbingan, arahan, pelatihan dan
supervisi.
Di sisi lain, peranan /
fungsi Badan Pengawasan Kabupaten / Kota (Bawasda) dalam pelaksanaan
pemeriksaan terhadap tugas pemerintah daerah Kabupaten / Kota adalah meliputi
pemerintahan, agraria, keuangan, perlengkapan dan peralatan, badan usaha
daerah, pembangunan kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, perekonomian
daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pemeriksaan tersebut
berikut pengujian dan penilaian atas kebenaran laporan berkala atau
sewaktu-waktu setiap tugas perangkat daerah. Pengusutan mengenai kebenaran
laporan atau pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau penyalahgunaan tugas
perangkat daerah. Pembinaan tenaga fungsional pengawasan di lingkungan Badan
Pengawasan Kabupaten Kota. Terakhir adalah evaluasi dan pelaporan pelaksanaan
tugas yang telah dilaksanakan.
Aturan main tersebut
sepatutnya diimplementasikan dalam harmonisasi kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah dengan batasan-batasan dalam koridor wilayah kewenangan
masing-masing.
Sekolah dan Guru di Daerah
Menyinggung pelayanan
pendidikan dalam otonomi daerah tidak bisa dilepaskan dari institusi sekolah di
masing-masing daerah. Sekolah sebagai ujung tombak proses pendidikan dimana
guru dan siswa secara terus menerus melakukan kontak pendidikan dan
pembelajaran sebenarnya merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan sebagai
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh sebab itu
otonomi dibidang pendidikan hendaknya tidak hanya diartikan sebagai pemberian
kewenangan daerah saja untuk mengelola pendidikan, tetapi juga harus diartikan
untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengurus
kegiatan proses pengelolaan pendidikan disekolah dalam rangka mengoptimalkan
hasil belajar siswa.
Belum lagi kita berbicara
masalah pelayanan pendidikan yang maih jauh dari harapan. Meski sudah ikut
mendanai kegiatan pendidikan masyarakat sebagai “Konsumen Pembeli” produk yang
bernama persekolahan hampir-hampir tak memiliki posisi tawar ketika berhadapan
dengan lembaga pendidikan. Kalaupun ada organisasi para orang tua murid lewat
lembaga bernama BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan) tetapi realitas
di lapanan menunjukkan bahwa lembaga ini pun (diakui atau tidak) tak lebih dari
kepanjangan tangan birokrasi pendidikan.
Daerah kabupaten/kota yang
memiliki pendapatan daerah yang besar atau bisa dianggap kaya, barangkali mudah
untuk memberikan pendidikan yang berkualitas bagi penduduknya yang mayoritas
sudah memiliki kemampuan materi yang baik. Sementara kesenjangan mutu
pendidikan akan terjadi di daerah yang miskin sumber pendapatan daerahnya
dengan penduduk yang miskin pula.
Namun untuk memberikan
pemerataan pendidikan dan kesempatan menikmati pendidikan yang bermutu, dapat
dikembangkan sistem subsidi silang antar daerah dengan komitmen bersama dengan
pemerintah pusat. Kemudian diperlukan pula ketersediaan dana alokasi khusus
untuk memberikan bantuan pendidikan melalui jalur pendidikan alternatif bagi
daerah yang kurang beruntungan atau miskin. Itu semua bisa menjawab rangkain
persoalan seperti mengembangkan SDM unggulan dalam atmosfer otonomi daerah
sekaligus mereduksi ego sektoral antara pemerintah pusat dan daerah.
Belum ada tanggapan untuk "Mempertautkan Kepentingan Pusat dan Daerah dalam hal Pendidikan Nasional"
Post a Comment