1.
Letak Masalah Hukum dan Letak
Masalah Politik
Sistem
hukum yang berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan adalah Sistem Hukum yang
beraneka ragam oleh beberapa golongan-golongan ras : Bangsa Eropa, Indonesia
Asli, Cina dan Timur Asing.
Bagi keturunan Eropa berlaku BW (Burgelijik Wetboek) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan WVK (Wet Boek Van Koophendel), Kitab
Undang-undang Hukum Dagang, dan Hukum Adat yang merupakan titik yang mempunyai
Norma-norma Hukum yang mereka percayai, diman Bangsa Eropa berusaha ingin
menggantikannya Hukum Adat dengan Kitab Undang-undang yang seragam dengan corak
Eropa.
Sistem Hukum Adat bagi orang Indonesia asli (Van Vollen dan Ter
Haar) tidak dapat bertahan lama karena dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa
dan dipengaruhi oleh sistem peradilan yang berubah, akibat dari masih kurangnya
tenaga hakim di Indonesia pada waktu itu.
Hukum adat yang diharapkan berlaku di Indonesia di pecah-pecah
sehingga menimbulkan kerancuan dalam penerapannya, sehingga tidak dapat
bertahan lama.
Sumber daya administratif tidak cukup untuk melakukan pengawasan
penuh terhadap penduduk, sebagian besar perselisihan karenanya di serahkan
penyelesaian Kepala Desa atau Keluarga dan tata cara penyelesaiannya yang lazim
barangkali adalah kompromi, msalahnya adalah kita tidak mempunyai aturan / perangkat hukum secara
tertulis yang menyangkut persoalan-persoalan pidana dan perdata dengan
persoalan Administratif saja yang diberlakukan secara tertulis.
Padahal yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda yang dengan
tujuan agar mereka dapat menguasai dan menentukan hukum berlaku
Letak masalah politik
Masalah politik yang terjadi sesudah revolusi pada tahun 1945. Pada
masa itu terjadi perubahan politik dari penjajahan ke sistem Indonesia merdeka
terjadilah perubahan sistem hukum yang berlaku.
Kebanyakan negara-negara yang baru saja merdeka terus- menerus
dilanda pergolakan politik sebagai akibat terjadinya saling mencari kekuasaan
diantara orang-orang yang memperebutkan demi kepentingan golongan atau kelompok
tertentu
Perubahan sistem peradilan di Indonesia, maka politik pengembangan
kekuasaan kehakiman di negara-negara Asia dan Afrika tidak cukup memadai karena
dua sebab :
1.
Kita tidak dapat memperoleh
pengetahuan sebelumnya mengenai faktor – faktor politik dan sosial yang
berkenaan dengan proses perubahan dalam suatu negara.
2.
Adalah bahwa dengan menitik
beratkan pada segi – segi legislatif perkembangan tersebut.
2. Kaitan antara Sub Judul
Kesinambungan dan Perubahan
Kesinambungan dan perubahan baik masalah Hukum maupun politik yang
tepat di dalam buku ini dapat kita lihat mulai dari bahasan pertama (Bab I)
mengenai Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat dijelaskan pembagian
berlakunya golongan – golongan negara keturunan Eropa, Indonesia Asli,
keturunan Cina dan Timur Asing lainnya yang berlaku pada zaman Hindia Belanda
dan dihapus pada zaman pendudukan Jepang.
Para pakar Hukum Belanda tetap mempertahankan Hukum Adat sebagai
sistem hukum yang hidup berkembang di dalam masyarakat yang dijaga dan ditaati
oleh masyarakat (living law) sehingga dalam bahasan Bab II mengulas
politik pengembangan kekuasaan kehakiman di negara baru Asia dan Afrika
dikatakan tampaknya tidak cukup memadai disebabkan karena kita tidak dapat
memperoleh pengetahuan sebelum menganai faktor-faktor politik dan sosial yang
berkenaan dengan proses perubahan di negara Asia yang kedua dengan
menitikberatkan pada kekuasaan legislatif dalam pengembangan tersebut.
Dalam tubuh eksekutif persaingan lebih berkembang dan dari beberapa
hal lebih rumit perselisihan antara polisi dan penuntut adalah perselisihan
merebut kekuasaan.
Dalam Bab III perubahan Hukum Sipil dari Dewi Keadilan ke Pohon
Beringin. Perubahan sistem hukum ini sangat mempengaruhi berlakunya sistem
peradilan di Indonesia. Dimana pembagian berlakunya sistem Hukum Adat, Hukum
Pidana tidak terdapat kemajuan setelah kemerdekaan.
Bab IV lembaga-lembaga peradilan dan budaya hukum di Indonesia
membicarakan masalah peradilan dan budaya hukum yang berlaku dalam masyarakat
pada pokoknya adalah bagaimana orang menangani berbagai warisan dalam
masyarakat bagaimana mereka mengatasi perselisihan-perselisihan mereka.
Disinilah fungsi hukum dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Dibahas dalam Bab VII mengenai asal usul keadvokatan Indonesia yang
mencari perbedaan dan persamaan Lowyer yang ada di Amerika, walaupun secara
tegas pada Bab V mengoreksi Advokat Indonesia yang belum melewati ketentuan
formil kepengacaraan namun dapat disamakan dengan advokat yang melalui jenjang
formil kepengacaraan.
Sedangkan pada Bab X yaitu bahasannya hukum Kolonial dan asal-usul
pembentukan negara Indonesia menceritakan tentang hukum di masa Kolonial serta
pemanfaatan hukum adat yang ada di Indonesia sampai dengan Bab II juga kurang
lebih seperti apa yang diuraikan mengenai kelembagaan serta pembahasan Bab V
tentang pokkrol bambu mengenai keadvokatan di Indonesia tetapi lebih jelas
bahasan Bab II mengulas tentang biografi LBH yang orientasinya perombakan hukum
politik dan sosial serta memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang
tidak mampu.
Sedangkan pada Bab yang terakhir (12) membahas gerakan sosial
tersebut disebabkan pengaruh kepentingan ekonomi dukungan elit dan nilai-nilai
rakyat semuanya ikut menentukan dalam masyarakat maupun juga walaupun ada
prinsip-prinsip berlawanan namun pemerintahan konstitusional pasti memiliki
aspirasi atau orientasi kepada ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip
umum yang mendasarinya oleh karena itu setiap negara yang memakai dasar
konstitusional lebih mencerminkan perlindungan kepada rakyat dan hak asasi.
3. Kaitan
antara ke 12 Bab dengan masalah-masalah Politik dan Masalah Demokrasi.
Membicarakan
masalah politik dan demokrasi adalah suatu masalah yang dihadapi dengan harapan
bahwa terjadi saling berhubungan satu sama lain.
Bab I Mahkamah Agung dan Praktek Hukum Waris Adat.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh Mahkamah Agung, mengenai hukum waris
kiranya perlu kita memperhatikan beberapa faktor untuk dipertimbangkan, demi
mencapai suatu hasil keputusan yang dianggap adil untuk semua orang tanpa suatu
indikasi buruk atau prasangka jelek.
Pendekatan hukum terhadap kehakiman di negara-negara baru Asia dan
Afrika tampaknya tidak cukup memadai karena dua faktor yang menyebabkan sebagai
berikut :
1.
Kita tidak dapat memperoleh
pengetahuan sebelumnya mengenai faktor-faktor politik sosial yang berkenaan
dengan proses perubahan di negeri-negeri itu.
2.
Bahwa dengan menitikberatkan
pada segi-segi legislatif perkembangan tersebut sorotannya beralih keluar dari
lembaga-lembaga itu sendiri.
Cara
untuk mengatasi keberatan kedua faktor tersebut ialah menghindari dan untuk
sementara waktu fungsi lembaga peradilan yang normal dan amandemennya
pertama-tama sebagai organisasi seperti yang lain, lengkap dengan perhatian
mengenai kepentingan kelompok yang harus dipertahankan dan keinginan yang harus
diraih. Dari titik tolak demikian maka mungkin dapat diperoleh pandangan
sekilas mengenai politik dan sosiologi perubahan dibidang tegel dan
institusional.
Ada dua pandangan mengenai kaitan antara pengadilan dan kerja
menyusun kualifikasi, salah satu diantaranya ialah bahwa Undang-undang yang
sama pengadilan mengisi kekurangan-kekurangan yang bisa jadi timbul persamaan
dengan terjadinya pengembangan situasi. Oleh Profesor Djojodiguno dari
Universitas Gajah Mada seorang pakar Hukum Adat yang berpendapat bahwa
berdasarkan analogi dengan sistem hukum tidak tertulis (Common Law)
bahwa hukum tertulis harus diketepikan untuk memberi tempat kepada hukum
kebiasaan (Costumati Law) yang dikembangkan oleh Hakim itu sendiri.
Budaya hukum mempunyai kelebihan dan kelemahan yang menarik terhadap
nilai-nilai yang berkait dengan hukum dan proses hukum, tetapi secara analitis
dapat dibedakan dengan hukum maupun dengan proses hukum dan sering dinyatakan
berdiri sendiri, konsep budaya hukum terdiri dari dua hukum yang berkait antara
lain :
1.
Nilai Hukum Subtantif
2.
Nilai Hukum keacaraan berkaitan
dengan penataan sosial dan pengolahan perselisihan.
Nilai ini membantu menentukan ruang sisanya yang diberikan kepada
lembaga hukum, politik, agama atau lembaga lainnya yang berlainan disembarang
waktu dalam sejarah masyarakat. Kementerian Kehakiman untuk menghapus pokrol
bambu tetapi selalu ragu-ragu melaksanakan. Pada umumnya di kalangan masyarakat
Profesi Hukum, termasuk para advokat sendiri bahwa tidak cukup tersedia Advokat
Profesional untuk mewakili tiap orang yang membutuhkannya. Dan sikap yang masih
setengah-setengah, diakui bahwa kebanyakan pokrol bambu mewakili yang tidak
menggunakan Kasad Advokat.
Para ahli hukum dan birokrasi termasuk hakim cenderung bersikap
bertentangan terhadap advokat karena berbagai alasan dan diantara mereka
terdapat pikiran bahwa advokat hendaknya jangan monopoli untuk melakukan
praktek hukum.
Univikasi peradilan adalah salah satu faktor pendorong untuk menyatakan
persepsi, sehingga menimbulkan reaksi terhadap kolonial. Untuk menciptakan
suatu pengadilan pidana bagi semua penduduk bekas jajahan, maka pada tahun 1918
kitab Undang-undang tentang perdata dibentuk dan berlakukan.
Hukum Pengadilan Negeri jelas berpendapat bahwa logika pembentukan
Pengadilan Nasional yang disatukan adalah menghapus peradilan lokal, itulah
yang dimaksud dengan unifikasi.
Yang mengenai pembatasan mengenai kekuasaan dan keleluasaan para
elite, pembatasan tersebut setidak-tidaknya ditetapkan secara minimal karena
kekhawatiran pemerintah tentang keabsahan, karena adanya pertentangan para elit
politik dan juga adanya tekanan internasional dalam berbagai bentuk, akan
tetapi dikalangan pemerintah sendiri konsisten dengan tekad untuk membentuk suatu
subsistem birokrasi (termasuk subsistem hukum) mempunyai otonomi yang relatif
kecil dan karenanya efektif sebagai sarana kontrol internal.
Van Vollen Haven dan Hukum Adat
Van Vollen Haven dalam tulisannya tentang adat hanya sedikit
dijumpai mengenai minat teoritisnya terhadap perubahan karena kecenderungan
yang konservatif ini di sisi lain berlaku liberal? Alasannya, ia telah
mengerahkan banyak energi bahwa hukum Indonesia itu adalah Asli dan bukan
sekedar turunan dari Hukum Hindu atau Islam, bertanggung jawab untuk memberikan
konsep-konsep mengenai nilai-nilai Hukum Indonesia. Ia tetap peka pada
keasliannya, sehingga Van Vollen Haven adalah salah satunya Bapak Hukum Adat.
Negara baru mewarisi banyak hal dari pendahulunya masa kolonial yang
mengubah kondisinya bukan dengan memberlakukan hukum yang baru tetapi
menerapkan kebijaksanaan politik baru, menghormati hukum lokal, dan pada
umumnya mereka tidak dapat mengesampingkan kecuali kepentingan dagang sebagai
taruhan. Hal yang mereka tidak hormati dan ambisi merekapun cenderung tidak
menghormatinya, adalah hubungan-hubungan ekonomi dan politik yang selamanya
bersumber pokok hukum lokal.
Bantuan Hukum di Indonesia
Keberhasilan LBH dalam bertahan, setidak-tidaknya dalam melaksanakan
program yang tulus berkenaan dengan persoalan yang nyata-nyata menarik
perhatian para advokat di seluruh Indonesia pada tahun 1971 – 1972 para advokat
membantu mendirikan cabang didaerah-daerah sampai pada saat ini masih bertahan,
dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pembangunan dalam bidang hukum sangatlah penting, sehingga kondisi
sosial dan hak asasi dapat terjangkau dengan baik, untuk mencapai hal tersebut
maka diperlukan konstitusi yang dapat menjamin kepastian hukum.
Belum ada tanggapan untuk "HUKUM DAN POLITIK DI INDONESIA"
Post a Comment