Masyarakat sebagai satu sistim yang terdiri atas peranan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan sosial bukanlah hal yang statis, tetapi cenderung berkarakter dinamis. Relasi sosial yang terbangun pun amat mengekspresikan kenyataan-kenyataan obyektif. Karena gejala yang wajar terlebih lagi jika dalam masyarakat juga mengalami perubahan sosial sekaligus perubahan kebudayaan.
Tidak ada satu masyarakat pun yang dalam proses perkembangannya tidak mengalami adanya konflik sosial. Hal itu disebabkan oleh antara lain bahwa manusia sebagai mahkluk sosial tidak dapat hidup terus-menerus dalam suatu ketaraturan dan ketertiban abadi.
Olehnya itu menurut Ismail (1993) dalam hubungan sosial antar suku bangsa, antar agama dan antar golongan, dapat terjadi penyesuaian untuk menghindari pertentangan dan supaya dapat hidup berdampingan dan saling memberi imbalan atau pengorbanan, baik secara materi maupun secara sosial.
Adanya hubungan positif negatif ini juga menunjukkan adanya hidup rukun, tidak rukun. Pada titik inilah bias dielaborasi lebih jauh bahwa hubungan antar suku bangsa, Agama dan antar golongan menjadi bertendensi konflik atau berintegrasi, sejauhmana mereka menyadari makna penting Togetherness Spirit dalam interaksi sosialnya. Jika roh kebersamaan itu dijauhi, maka konfliklah yang terjadi, namun bila roh tersebut menjadi tarikan nafas kehidupan mereka, maka lekatan integrasipun akan menjadi kokoh.
Menurut Suparlan, ada 6 (enam) hal yang perlu dicermati, bekaitan dengan terminologi rukun tersebut :
Pertama, tidak ada kontak hubungan, masing-masing tidak peduli karena mempunyai kesibukan-kesibukan dan kegiatan sendiri-sendiri;
Kedua, adanya hubungan yang informal dan spontan melalui sistem kekerabatan, kekeluargaan, pertemanan, hobi dan hubungan-hubungan pribadi lainnya seperti merasa behutang budi;
Ketiga, adanya hubungan formal melalui upacara nasional, sosial atau lokal.
Keempat, adanya hubungan kerja yang saling menguntungkan;
Kelima, karena adanya aturan pemerintah atau perintah atasan dan;
Keenam, adalah faktor-faktor lain karena pemahaman ajaran agama, tradisi dan kebiasaan, adanya interest ekonomi, takut dikucilkan dan lain-lain.
Sementara tak rukun menurut Nahrorwi dapat dilihat pada :
Faktor curiga dan prasangka lama, sikap ekslusif suku-suku bangsa yang ada, kelompok-kelompok agama, persaingan atau perebutan pengaruh keagamaan, politik, sosial dan perbedaan pendapat dalam beberapa masalah.
Bentuk rukun dan tidak rukun dapat dilihat dalam bidang kegiatan ekonomi, politik, kekeluargaan, kekerabatan, upacara linkaran hidup tradisi dan kebudayaan setempat, kesenangan dan hiburan pendidikan dan lain-lainnya.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "6 Faktor yang mempengaruhi hidup rukun dan tidak rukun"
Post a Comment