Setiap manusia selalu memposisikan dirinya dalam sejarah budaya sejak jaman perbudakan sampai pada jaman manusia dipandang sebagai objek dalam berbagai tingkatan budaya, yang dapat diidentifikasikan menurut kuantitas dan kualitasnya.
Sebagaimana pendapat Ndraha (1999:44) yaitu: Pertama, semakin banyak anggota (aspek kuantitatif), masyarakat yang menganut, memiliki dan menaati suatu nilai, semakin tinggi tingkat budayanya. Dilihat dari sudut ini, ada budaya global, budaya regional, budaya bangsa, budaya daerah dan budaya setempat. Kedua, semakin mendasar penataan nilai (aspek kualitatif), semakin kuat budayanya. Dilihat dari sudut ini, terdapat budaya kuat, budaya sedang dan budaya lemah.
Definisi operasional budaya kerja, menurut Paramitha (1986:75) adalah sekelompok pikiran dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerja sama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat. Lebih jauh Paramitha (1986:76) membagi budaya kerja menjadi:
- Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti: bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannnya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.
- Perilaku pada waktu bekerja seperti: rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas kewajibannya, suka membantu sesama karyawan, atau sebaliknya.
Menurut Siagian (1995:126), dalam kehidupan organisasional terdapat tiga faktor yang sangat berpengaruh pada sikap seseorang yaitu kepuasan kerja orang yang bersangkutan, tingkat keterlibatan seseorang dalam menentukan nasib organisasi dan komitmen organisasional orang tersebut”.
Faktor pertama, yaitu kepuasan kerja adalah sikap umum pegawai terhadap pekerjaannya. Lebih lanjut Siagian (1995:126) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu pekerjaan yang penuh tantangan, sistem penghargaan yang adil, kondisi yang mendukung dan sikap rekan sekerja. Pekerjaan yang penuh tantangan merupakan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan, tenaga dan waktu maksimal yang tersedia bagi setiap pegawai.
Sistem penghargaan yang adil meliputi sistem penggajian pegawai dan sistem promosi. Kondisi kerja mencakup ketersediaan sarana dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan. Sedangkan yang terakhir sikap rekan sekerja juga berpengaruh dalam memberikan kepuasan kerja.
Faktor kedua, yaitu tingkat keterlibatan pegawai dalam organisasi merupakan sejauh mana seorang pegawai diikutsertakan dalam menentukan nasib organisasi. Tidak dapat disangsikan bahwa semakin besar tingkat keterlibatan seseorang dalam kehidupan organisasi maka semakin besar pula rasa tanggung jawab yang dimiliki untuk menunaikan kewajibannya yang tercermin dalam berbagai bentuk seperti produktivitas yang tinggi, tingkat kemangkiran yang rendah, tingkat kepuasan yang tinggi dan keinginan yang rendah untuk pindah pekerjaan.
Faktor ketiga, yaitu komitmen organisasional merupakan sejauh mana seseorang mengidentifikasikan diri sendiri secara positif dengan organisasi. Komitmen organisasional yang tinggi akan berakibat pada berbagai sikap yang positif seperti menghindari hal-hal yang dapat merugikan nama baik organisasi, kesetiaan kepada
pimpinan, kepada rekan setingkat dan kepada bawahan, produktivitas yang tinggi, kesediaan menyelesaikan konflik melalui musyawarah dan sebagainya (Siagian, 1995:127).
Perilaku berkaitan dengan kemampuan dan kualitas pegawai dalam pelaksanaan pekerjaannya sehingga mampu mengidentifikasi bagaimana cara melakukan pekerjaan dengan baik dan bagaimana menggunakan sumber-sumber daya yang ada dalam proses organisasi dan pelayanan untuk mewujudkan tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Siagian (1994:36) merumuskan kecenderungan perilaku negatif pegawai yang terjadi dan harus dihindari dalam meningkatkan produktivitas kerja dan mutu pelayanan publik yaitu:
- Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.
- Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrat yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif.
Selanjutnya secara rinci Siagian (1994:65-126) menguraikan setiap patologi diatas sebagai berikut:
Pertama, ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kebingungan, tindakan yang “counter productive”, tidak adanya kemampuan berkembang, mutu hasil pekerjaan yang rendah, kedangkalan, ketidakmampuan belajar, ketidaktepatan tindakan, inkompetensi, ketidakcekatan, ketidakteraturan, melakukan kegiatan yang tidak relevan, sikap ragu-ragu, kurangnya imajinasi, kurangnya prakarsa, kemampuan rendah (mediocrity), bekerja tidak produktif, ketidakrapian dan stagnasi.
Kedua, penggemukan pembiayaan, menerima sogok, ketidakjujuran, korupsi, tindakan yang kriminal, penipuan, kleptokrasi, kontrak fiktif, sabotase, tata buku yang tidak benar dan pencurian.
Ketiga, bertindak sewenang-wenang, pura-pura sibuk, paksaan, konspirasi, sikap takut, penurunan mutu, tidak sopan, diskriminasi, cara kerja yang legalistik, dramatisasi, sulit dijangkau, tidak acuh, tidak disiplin, inersia, kaku (tidak fleksibel), tidak berperikemanusiaan, tidak peka, tidak sopan, tidak peduli mutu kinerja, salah tindak, semangat yang salah tempat, negativisme, malalaikan tugas, tanggung jawab yang rendah, lesu darah, paperasseri, melaksanakan kegiatan yang tidak relevan, cara kerja yang berbelit-belit (red tape) kerahasiaan, pengutamaan kepentingan sendiri, suboptimasi, sycophanty, tampering, imperatif wilayah kekuasaan, tokenisme, tidak profesional, tidak wajar, melampaui wewenang, vested interest, pertentangan kepentingan dan pemborosan.
Pustaka
Ndraha, T. 1999. Teori Budaya Organisasi. Jakarta. Rineka Cipta.
Paramita, B. 1986. Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia. Jakarta. LPFE-UI.
Siagian, S. P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapannya. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Belum ada tanggapan untuk "Memahami Konsep Budaya Kerja Pegawai Berdasarkan Kajian Para Ahli"
Post a Comment