Masa remaja dikatakan sebagai masa yang penuh dengan guncangan-guncangan dan perubahan-perubahan mendadak baik fisik maupun psikis. Perubahan fisik ditandai dengan perubahan bentuk tubuh dan fungsi organ-organ tubuh. Sedangkan perubahan psikis ditandai dengan perubahan sikap, perasaan terhadap lawan jenis, dan perubahan temperamen (Ramonasari, 1996:262).
Seiring terjadinya perubahan tersebut, berubah pula berbagai macam kebutuhan mereka termasuk dalam hal menunjukkan eksistensi dan jati dirinya dengan berbelanja apa saja. Oleh karena itu remaja sering kali dianggap sebagai generasi yang paling konsumtif (Putri, 2004:12).
Mereka mudah terpengaruh oleh iklan-iklan (reklame) yang tersebar di berbagai media. Selain itu mereka juga dengan mudah meniru berbagai hal yang mereka temukan dan menarik perhatian. Benda-benda budaya, barang-barang konsumtif merupakan material yang membentuk pola-pola kehidupan manusia (Lee, 1993:49).
Dengan demikian segala hal yang ditawarkan oleh media dengan mudah akan diserap oleh remaja, kemudian membentuk kehidupannya berdasarkan apa yang mereka temukan di media-media tersebut. Rangkaian peristiwa ini merupakan bagian dari perubahan yang dialami memasuki dunia remaja.
Dengan semakin berkembanganya media cetak dan elektronika, semakin banyak pula informasi yang dapat disampaikan kepada publik. Media-media tersebut tidak hanya menghadirkan rubrik-rubrik populer, seperti fesyen, hobi, dan tips, tetapi juga menampilkan iklan-iklan dan berita-berita seputar tokoh-tokoh populer atau selebritis. Tokoh-tokohpopuler ini kerapkali dijadikan idola oleh remaja. Sedangkan idola itu sendiri seringkali menjadi “momok” bagi penggemarnya untuk menjadi atau meniru sang tokoh idola.
Selain itu. media-media tadi juga menyajikan perkembangan mode, musik, film, gaya hidup dari berbagai kalangan, mulai dari musisi, sineas, seniman, sastrawan, tokoh-tokoh politik, kritikus, sejarawan, hingga ilmuwan.
Kesemuanya ini memiliki style tersendiri dengan berbagai gaya dan citra diri tertentu. Remaja yang mengidolakan tokoh-tokoh tertentu dapat dengan mudah meniru atau mengadopsi gaya hidup, penampilan, dan perilaku sang idola. Sebab remaja juga sering kali dianggap sebagai kaum yang melek pada media (Subiyantoro, 2004).
Media, terutama media visual adalah alat yang sangat strategis dalam menularkan gagasan-gagasan baru. Media ini telah begitu rupa membentuk sebuah gaya hidup remaja yang seolah-olah wajib untuk diikuti. Media massa telah menjadi kiblat bagi remaja untuk mengidentifikasi dirinya dengan orang-orang yang menjadi bintang di sebuah tayangan.
Mereka seolah tidak punya pilihan untuk tidak mengikuti tawaran yang selama ini disosialisasikan oleh media. Kekhawatiran yang muncul dari gaya hidup yang diciptakan media ini adalah perilaku konsumtif dan menganggap penampilan adalah segala-galanya tanpa memikirkan keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena itu tayangan-tayangan media visual, seringkali ditiru bahkan telah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Proses peniruan ini akan merubah sikap dan perilaku remaja untuk mengikuti apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka seakan tidak mampu mengontrol diri dan kurang mampu menyeleksi mana yang baik untuk perkembangan diri mereka dan mana yang tidak.
Maka dari itu tidak menghenrankan jika remaja sering tawuran atau mengalami perkelahian. Tawuran dilakukan dengan saling menyerang dengan menggunakan senjata tajam. Jatuhnya korban jiwa dianggap tidak jadi masalah, selama perkelahian itu bisa membuktikan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sadisme melalui pemerkosaan dan mutilasi juga mewarnai kehidupan mereka. Atau membunuh orang lain karena mabuk sering dilakukan oleh pemuda pengangguran yang tanpa sadar penikam orang lain. Semuanya itu dilihat melalui tayangan di media visual.
Pemuas nafsu tidak hanya terjadi melalui pemerkosaan, tetapi juga dengan melakukan seks bebas, berganti-ganti pasangan, pacaran dan perselingkuhan. Akibatnya banyak pasangan muda-mudi yang tertular HIV/AIDS dan melakukan aborsi. Mereka memilih kehidupan seperti ini karena anggapan mereka inilah trend masa kini. Norma-norma seksual pranikah yang diajarkan oleh orang tua dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. “Keperawanan” bukan lagi hal yang penting. Bahkan sering kali “kesucian” tergadaikan dengan alasan ekonomi dan pergaulan.
Sikap individualistis dalam pergaulan remaja juga sebagai perwujudan degradasi kultural. Individualistis yang dimaksudkan di sini adalah ketidak pedulian pada lingkungan sosial, seperti tetangga atau orang lain. Sikap tolong-menolong, kekeluargaan, solidaritas, berangsur-angsur terlupakan, tergantikan oleh sikap hidup yang lebih mengutaman keuntungan pribadi.
Pustaka
Ramonasari, 1996, “Kaum Remaja, Kelompok Penduduk yang Terabaikan dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi” dalam Seksualitas, Kesehatan Reproduks, dan Ketimpangan Gender. Yogyakarta: PPK Universitas Gadjah Mada
Putri, Maria R. D., 2004, “Kami Ingin Jadi Diri sendiri” dalam Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media No.37, hlm.7-14, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Lee, Martyn J., 1993, Cunsumers, Culture Reborn. London: Routledge. Marzali, Amri, 2007, Antropologi Dan Pembangunan Indonesia, Jakarta: Kencana
Subiyantoro, 2004, “Tubuhku (Seharusnya) Miilikku: Dilema Remaja Perempuan Menyikapi Media” dalam Jurnal Perempuan: Remaja Melek Media. No.37. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Hlm. 102-114.
Belum ada tanggapan untuk "Remaja Dan Degradasi Kultural"
Post a Comment