Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara tanaman dan jamur tertentu yang mengkolonisasi jaringan kortek akar tanaman hidup. Asosiasi ini dicirikan adanya perpindahan (1) karbon hasil fotosintesis yang diproduksi oleh tanaman ke jamur (2) penyerapan hara dan air oleh jamur ke tanaman (Brundrret et.al., 1996). Berdasarkan struktur tumbuh dan cara kolonisasinya pada sistem perakaran inang, mikoriza dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu Ektomikoriza dan Endomikoriza. Fungi endomikoriza (Fungi Mikoriza Arbuskula) berasosiasi dengan lebih dari 90% jenis tanaman baik tanaman kehutanan, pertanian dan perkebunan. Sedangkan sisanya sekitar 7% - 10% jenis tanaman berasosiasi dengan fungi ektomikoriza, terutama tanaman kehutanan dari jenis dipterokarpa (Shorea, Diptetocarpus dan Hopea), pinus dan ekaliptus (Santoso et al., 2003; Setiadi, 2006).
Kolonisasi fungi mikoriza pada akar tanaman tidak hanya membentuk struktur tertentu dalam akar tanaman (hifa internal, arbuskula, vesikula, hartig net) namun juga di luar akar tanaman (mantel dan hifa ekternal). Pertumbuhan hifa ekternal dan mantel pada rambut akar (fine roots ) yang intensif memberikan manfaat bagi inang (host) Lahan pasca tambang umumnya mempunyai kandungan hara yang rendah dan mengalami kekeringan. Fungi mikoriza merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang mempunyai peran penting dalam keberlanjutan sistem tanah – tanaman (Duponnois et al., 2005).
Fungi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara P oleh tanaman. Aktivitas fosfatase juga meningkat sehingga hidrolisis P organik juga meningkat. Aktivitas fosfatase asam pada akar dan rizosfer tanaman gandum yang dikolonisasi Glomus geosporum dan G. mosseae lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak dikolonisasi, dan meningkatkan pertumbuhan dan kadar P tajuk (Harakarti 2006). Aktivitas fosfatase fungi mikoriza bermanfaat pada tanah yang mengandung P organik tinggi terutama jika ada kontak antara hifa dan bahan organik (Haselwandter & Bowen 1996). Selain itu juga meningkatkan penyerapan unsur hara lain seperti NO3 (nitrat), Cu, Zn dan K (Smith dan Read, 1997; Duponnois et al., 2005; Bertham, 2006).
Fungi mikoriza juga memengaruhi penyerapan air sehingga memberikan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (Duponnois et al., 2005; Setiadi, 2006). Fungi mikoriza yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memroduksi jalinan hifa ekternal yang intensif yang memperluas permukaan absorbsi akar sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air (Smith dan Read, 1997; Abbot dan Robson dalam Delvian, 2005; Harakarti, 2006).
Tanaman bermikoriza lebih tahan kekeringan daripada yang tidak bermikoriza dan akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berakhir. Hal ini dimungkinkan karena hifa fungi mikoriza masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Penyebaran hifa eksternal sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak pada kondisi kekeringan (Bowen, 1980; Munyaziza et al. dalam Delvian, 2005). Selain itu, hifa fungi mikoriza berukuran diameter sepersepuluh diameter rambut akar (Orcutt dan Nielsen, 2000) dan luas permukaan penyerapan akar 80 kali lebih luas dibandingkan akar tidak bermikoriza Bowen (1980).
Dengan demikian hifa fungi mikoriza mampu mencapai bagian tanah yang tidak dapat dicapai lagi oleh rambut akar, terutama pori tanah yang kecil. Selain mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman di lahan pasca tambang, fungi mikoriza juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Tanah pasca tambang umumnya mempunyai kepadatan tanah (bulk density) tinggi yang menyebabkan terhambatnya penetrasi dan respirasi akar. Fungi mikoriza dapat membentuk agregat tanah lebih baik dibanding fungi tanah lain. Fungi mikoriza arbuskula mengeluarkan subtansi seperti lem yang disebut glomalin (glikoprotein) yang mengikat partikel tanah menjadi mikroagregat. Selanjutnya hifa fungi mikoriza dan akar tanaman mengikat mikroagregat tanah menjadi makroagreagat tanah. Hal inilah yang membuat tanaman bermikoriza sangat dibutuhkan pada rehabilitasi lahan bekas penambangan karena agregasi tanah akan mempercepat penetrasi air, memelihara kapasitas pengikatan air (water holding capacity) dan meningkatkan aerasi tanah (Mosse dan Hayman, 1980; Smith dan Read, 1997) tetapi mengurangi hambatan penetrasi dan respirasi akar.
Seringkali dilaporkan bahwa tanah-tanah pertambangan mengandung logam-logam berat beracun (Cu, Zn, Ni, Fe, Co, Pb, Cd, dan Ba) dalam konsentrasi tinggi. Golden dan Tinker dalam Delvian (2005) melaporkan bahwa pada kondisi yang sangat masam, rerumputan yang bermikoriza mengakumulasi Cu dan Ni dalam level yang tinggi dibanding tanaman yang tidak bermikoriza sehingga disimpulkan bahwa simbion mikoriza harus dipertimbangkan sebagai komponen dari toleransi tanaman terhadap logam-logam berat yang toksik. Mekanisme simbiosis FMA dalam memperbaiki toleransi tanaman terhadap logam berat diduga karena (a) terjadi pengenceran unsur-unsur toksik dengan membaiknya serapan unsur hara lainnya, (b) terjadi penangkapan logam-logam oleh polifosfat, yang akumulasinya terjadi karena membaiknya status fosfor dalam fungi, dapat menurunkan perpindahan unsur toksik ke tanaman sehingga terjadi penurunan toksisitas, (c) simbiosis FMA memperbaiki pertumbuhan tanaman sehingga tanaman meningkat toleransinya terhadap logam berat (Bertham, 2006).
Mosse et al. (1981) menyatakan bahwa fase bibit merupakan fase yang sangat tergantung pada mikoriza. Inokulasi mikoriza pada bibit tanaman terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan bibit. Inokulasi Fungi mikroza indigen dari tanah bekas tambang kapur terhadap bibit bitti (Vitex cofassus), pulai (Alstonia scholaris) dan jati (Tectona grandis) yang ditumbuhkan pada media dari tanah bekas tambang kapur mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi (30 – 635%), diameter batang (47 – 275%), indek mutu bibit (140– 829%) dan serapan P (187 – 2313%) dibanding pertumbuhan semai bitti yang tidak diinokulasi fungi mikoriza (Prayudyaningsih et al., 2009).
Hasil penelitian lain menunjukkan inokulasi fungi mikoriza pada bibit bitti (V. cofassus) yang ditumbuhan di media tanah ultisol juga mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi (60%), diameter batang (61%) dan serapan P (105%) dibanding bibit yang tidak diinokulasi fungi mikoriza (Prayudyaningsih, 2007a; Prayudyaningsih dan Tikupadang, 2008). Demikian juga dengan inokulasi fungi mikoriza pada bibit eboni (Diospyros celebica) yang ditumbuhkan pada media tanah ultisol, mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 31%, diameter batang 17%, indeks mutu bibit 64% dan panjang akar 96% dibanding bibit yang tidak diinokulasi fungi mikoriza (Prayudyaningsih, 2007b). Dengan demikian inokulasi fungi mikoriza pada bibit tanaman mampu menghasilkan bibit yang berkualitas karena mempunyai pertumbuhan yang lebih baik sehingga mempunyai daya hidup di lapangan yang lebih baik pula.
Asosiasi fungi mikoriza dengan akar tanaman mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Untuk itu pengadaan bibit dari jenis tumbuhan yang sesuai dengan tapak dan berasosiasi dengan fungi mikoriza merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan rehabilitasi lahan bekas tambang. Menurut De La Cruz (1998) dalam Setiadi (2006), asosasi fungi mikoriza dengan akar tanaman dapat meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah marginal seperti lahan pasca tambang sehingga aplikasi fungi mikoriza dapat membantu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis dan marginal seperti lahan pasca pertambangan. Namun, inokulum fungi mikoriza yang digunakan sebaiknya merupakan fungi mikoriza yang adaptif di lokasi tersebut.
Menurut Killham dalam Ervayenri (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan inokulum mikroba di dalam tanah adalah faktor produksi inokulum, sifat-sifat tanah dan iklim serta kompetisi oleh beberapa jenis mikroba lain di lingkungannya. Dengan demikian keefektifan simbiosis antara mikrobion dan inangnya dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah di lingkungannya serta kompatibilitas antara inokulum dan tanaman inang. Pfleger et al. (1994) menyatakan fungi mikoriza indigen merupakan kandidat inokulum terbaik untuk reinokulasi dalam upaya reklamasi lahan bekas tambang. Sedangkan menurut Smith dan Read (1997), penting artinya mengetahui potensi dan peran fungi mikoriza untuk pengelolaan lahan terdegradasi seperti lahan pasca penambangan. Aplikasi fungi mikoriza perlu dilakukan pada lahan yang memiliki propagul fungi mikoriza rendah.
Dengan demikian penelitian bioprospeksi fungi mikoriza indigen dari lahan bekas tambang untuk mendukung keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang tersebut perlu dilakukan. Kegiatan bioprospeksi fungi mikoriza untuk reklamasi lahan bekas tambang diawali dengan eksplorasi dan identifikasi jenis fungi mikoriza indigen pada lahan bekas tambang, kemudian dilanjutkan dengan isolasi dan pembuatan inokulum Fungi mikoriza indigen tersebut dan uji efek inokulum fungi mikoriza indigen tersebut terhadap pertumbuhan semai dan pertumbuhan tanaman di lapangan. Pada akhirnya dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data status fungi mikoriza di lahan bekas tambang dan perannya dalam memacu pertumbuhan tanaman sehingga dapat digunakan dalam teknologi rehabilitasi lahan bekas pertambangan yang berwawasan lingkungan.
Penelitian Nurtjahya, et al., (2006) menunjukkan bahwa kepadatan spora fungi mikoriza pada lahan pasca tambang timah di Bangka sangat rendah. Lahan pasca tambang timah umur 11 tahun kepadatan sporanya 69 - 72 per 50 gram tanah dan 1 per 50 gram tanah pada lahan pasca tambang timah umur 1 tahun (tidak bervegetasi). Hasil penelitian eksplorasi dan identifikasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) di lahan bekas tambang kapur, PT. Semen Tonasa menunjukkan terdapat 4 macam morfotipe spora yang termasuk dalam 3 genus yaitu Acaulospora sp., Gigaspora sp., dan Glomus sp. dimana Acaulospora sp. merupakan FMA yang paling dominan (Prayudyaningsih, 2007a).
Selanjutnya ditinjau dari kerapatan sporanya, maka spora FMA di lahan bekas tambang kapur PT. Semen tonasa tergolong rendah yaitu berkisar 19 – 116 buah spora per 100 gram sampel tanah (Prayudyaningsih, 2008). Menurut Daniels dan Skipper (1982), tanah mempunyai populasi spora FMA yang tinggi apabila kerapatan sporanya 20 per gram tanah (2000 per 100 gram tanah). Selain itu hasil pengamatan kolonisasi FMA secara alami pada tumbuhan pioner yang menginvasi lahan bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa menunjukkan 21 jenis dari 22 jenis tumbuhan pioner berasosiasi dengan FMA (Prayudyaningsih, 2007c). Hal ini menunjukkan kolonisasi fungi mikoriza sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan tumbuhan pioner tersebut di lahan bekas tambang.
Belum ada tanggapan untuk "Fungi Mikoriza Dan Peranannya Pada Lahan Pasca Tambang "
Post a Comment