Teori komunikasi dan teori pembangunan mempunyai hubungan yang erat. Dalam praktik, aliran informasi di setiap negara diatur oleh ideologi pembangunan negara itu. Hal ini menunjukkan bahwa cara berkomunikasi yang digunakan dalam suatu sistem sosial ialah fungsi struktur sosial dan kepercayaan yang ada dalam sistem tersebut (Gonzalez dalam Jahi, 1988: 73).
Dari pendapat Gonzalez ini, dapat dikemukakan bahwa ada kontribusi komunikasi pada teori pembangunan yang disesuaikan dengan teori pembangunan yang dianut suatu negara. Dalam dasawarsa 1940, komunikasi umumnya dianggap sebagai suatu fungsi linear. Seorang mengomunikasikan pesan-pesannya melalui sebuah saluran kepada seorang penerima yang kemudian memberikan umpan balik kepada pengirim tersebut.
Model komunikasi seperti ini dikenal sebagai “teori peluru” atau “jarum suntik”. Dalam model ini, komunikator menggunakan media massa untuk menembaki atau menyuntik khalayak dengan pesan-pesan persuasif yang tidak dapat mereka tahan. Proses seperti ini dinamakan proses satu arah, dari pemerintah kepada masyarakat secara hierarkhis ke bawah. Model komunikasi satu arah dapat ditemukan pada negara-negara Dunia Ketiga yang menggunakan teori modernisasi dalam melaksanakan pembangunannya.
Di sini, komunikasi berperan untuk membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, khususnya peralihan dari kebiasaan-kebiasaan yang menghambat pembangunan ke arah sikap baru yang tanggap terhadap pembaruan. Kontribusi komunikasi lebih menonjol pada saat teori modernisasi baru diperkenalkan.
Saat itu kemampuan baca tulis semakin meluas di negara-negara dunia ketiga yang menyebabkan bertambah banyaknya orang yang membaca media cetak. Radio-radio transistor pun mulai menembus daerah pedesaan. Arus komunikasi satu arah dari badan-badan pembangunan pemerintah kepada masyarakat sangat mencolok. Media massa dapat secara cepat menjangkau khalayak luas dengan pesan-pesan yang informatif mengenai berbagai hal tentang pembangunan (Rogers, 1989).
Dengan demikian, media massa mampu memperdekat jarak yang jauh serta memperjelas hal-hal yang kabur dan menjembatani peralihan antara masyarakat tradisional ke arah masyarakat modern. Penelitian yang dilakukan Inkeles dan Smith di enam negara (Rogers, 1989), menyimpulkan bahwa media massa bersama-sama dengan sekolah dan pabrik berada pada posisi terdepan, sebagai penanam modernisasi pribadi. Dalam penelitian tersebut, modernisasi dianggap sebagai manifestasi pembangunan pada tingkat individu. Kesimpulan mereka didasari bahwa untuk menjadikan warga masyarakat yang modern diperlukan sosialisasi.
Cara sosialisasi yang penting menurut mereka, adalah melalui komunikasi massa, pendidikan massa, dan industrialisasi. Di bidang penelitian, komunikasi memberikan kontribusinya pada penelitian difusi inovasi, terutama bidang pertanian, kesehatan, dan keluarga berencana. Penelitian-penelitian ini telah digunakan hasilnya secara luas oleh pejabatpejabat pemerintah dalam badan-badan pembangunan. Penelitian komunikasi yang lain difokuskan pada peranan media dalam sekolah formal dan nonformal, sedangkan yang lebih umum lagi diteliti juga peranan media massa dalam meningkatkan harapan dan menciptakan suatu iklim sikap untuk modernisasi (Rogers, 1989).
Kontribusi komunikasi pada teori ketergantungan dan keterbelakangan, tidak banyak berbeda seperti yang dikemukakan dalam teori modernisasi. Dalam teori ketergantungan dan keterbelakangan, komunikasi menjalankan fungsinya secara linear, karena informasi pembangunan terpusat dan dikuasai oleh elit yang ada di perkotaan atau negara maju. Kontribusi komunikasi pada teori ini, lebih dapat dilihat sebagai pembangkit kesadaran akan keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara Dunia Ketiga, melalui tulisan-tulisan di media massa.
Khusus di bidang informasi, telah tumbuh usaha di kalangan negara-negara Dunia Ketiga untuk menciptakan tata Informasi Dunia Baru dengan tujuan mengimbangi monopoli arus informasi dari negara maju. Walaupun belum banyak yang dihasilkan, tetapi adanya organisasi pertukaran berita di antara negara-negara Asia Pasifik merupakan bukti, usaha ke arah itu sudah dilaksanakan. Kontribusi komunikasi pada kedua teori pembangunan terdahulu, menimbulkan banyak kritik seperti tidak cukup bukti, untuk mengatakan bahwa media massa berperan besar dalam mewujudkan modernisasi.
Selain itu, penerapan difusi inovasi telah menyebabkan terjadinya kesenjangan hasil komunikasi yang akhirnya menjurus pada melebarnya jurang sosial ekonomi masyarakat. Sebagai ilustrasi, kontribusi komunikasi pada teori modernisasi, dapat dicontohkan Indonesia. Pembangunan pertanian di Indonesia, mulai menggunakan komponen komunikasi massa dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian, ketika pada akhir tahun 1963 IPB mencoba memperkenalkan program Demonstrasi Massal Bahan Makanan (Soekartawi, 1988: 4). Pada tahun berikutnya, disempurnakan dengan menggunakan istilah Bimas (Bimbingan Massal). Produk ini kemudian dikembangkan lagi pada tanamantanaman lain melalui upaya modernisasi usaha tani dan difusi inovasi di bidang pertanian.
Pendekatan komunikasi dilaksanakan secara satu arah, dari atas ke bawah. Petani dianggap pasif dan perlu dibantu usahanya. Upaya melaksanakan modernisasi melalui pemakaian teknologi dijalankan dan dikenal dengan nama revolusi hijau. Revolusi hijau telah membawa kenaikan yang mengesankan pada produksi pertanian, tetapi juga mengakibatkan semakin lebarnya jurang sosial ekonomi antara petani kaya dengan petani miskin. Kelemahan-kelemahan teori pembangunan terdahulu, menyebabkan kekecewaan di negaranegara Dunia Ketiga. Dalam keadaan seperti ini, muncul teori penyadaran yang membiasakan rakyat mengenal kemampuan mereka sendiri.
Kontribusi komunikasi pada teori ini, dapat dilihat terutama dalam usaha memberikan peranan pada rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat ditempuh melalui usaha pendidikan yang berarti juga melalui komunikasi, karena pendidikan bukan hanya pengalihan pengetahuan, melainkan perjumpaan antara subjek-subjek dalam dialog, dalam rangka usaha mencari objek pengetahuan dan pemikiran (Freire, 1972).
Kontribusi komunikasi pada teori pembangunan, telah melahirkan model komunikasi interaktif. Pendekatan komunikasi tidak lagi satu arah. Setiap partisipan memberikan kontribusi pada proses komunikasi dalam derajat yang berbeda. Di sini inisiatif lokal diberikan penilaian yang tinggi dan konsep partisipatif menjadi fokus sentral dalam pembangunan.
Dalam hubungan ini, Rogers (1989:170) mengemukakan bahwa pembangunan diri (selfdevelopment) merupakan konsep komunikasi pembangunan yang bersifat partisipatif. Pembangunan diri memberikan peranan yang amat berbeda kepada komunikasi dibandingkan pada pendekatan atas-bawah di masa lalu. Peranan badan-badan pembangunan pemerintah hanya menyampaikan jawaban atas permintaan yang tumbuh dari daerah sendiri, bukan merencanakan dan melaksanakan kampanye komunikasi atas bawah.
Media mssa dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi kepada kelompok-kelompok di daerah mengenai gambaran latar belakang kebutuhan yang mereka kemukakan, serta menyebarkan inovasi yang mungkin dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kontribusi komunikasi seperti ini, terlihat pada kampanye kelompok pendengar radio untuk kesehatan masyarakat dan pangan/pertanian yang dilaksanakan di Tanzania pada tahun 1974 dan 1975. Dari kampanye tersebut selama sebulan diperoleh partisipasi di kalangan kelompok pendengar di pedesaan sebanyak 2,5 juta orang, hampir 40% dari jumlah penduduk dewasa di Tanzania.
Dengan demikian, sumbangan komunikasi massa dalam pembangunan lebih permisif serta mendukung, dibandingkan pada pembangunan atas-bawah yang banyak melibatkan ketergantungan pada pemerintah (Rogers, 1989: 172).
Masih dalam kaitan dengan model pembangunan yang partisipatif, Schramm dalam Hassan, seperti yang dikutip Jahi (1988: 111), menunjukkan bahwa ada tiga fungsi media massa dalam pembangunan, yaitu:
- Memberi tahu rakyat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian mereka pada kebutuhan untuk berubah, kesempatan untuk menimbulkan perubahan, metoda dan cara menimbulkan perubahan, dan jika mungkin meningkatkan aspirasi.
- Membantu rakyat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog dan menjaga agar informasi mengalir baik ke atas maupun ke bawah.
- Mendidik rakyat agar memiliki keterampilan.
Ketiga fungsi media itu, sepadan dengan pendapat Chalkley yang dikutip Medis (dalam Jahi, 1988: 112), tentang peranan media massa yang dapat diberikan dalam pembangunan model partisipatif, yaitu :
- Memberi tahu masyarakat tentang fakta kehidupan ekonomi mereka.
- Menginterpretasikan fakta tersebut agar dapat dipahami oleh masyarakat itu dan kemudian,
- Mempromosikan hal tersebut agar masyarakat menyadari betapa serius masalah pembangunan yang mereka hadapi dan memikirkan lebih lanjut masalah itu, serta menyadarkan mereka pada solusi-solusi yang mungkin ditempuh.
Meskipun peranannya terbatas, komunikasi tidak boleh diperlakukan sekadar kegiatan penunjang pembangunan. Komunikasi harus dijadikan salah satu komponen pembangunan, sama seperti komponen-komponen lainnya, kalau tidak ingin mendapatkan kesulitan besar di kemudian hari.
Belum ada tanggapan untuk "Kontribusi Komunikasi pada Teori Pembangunan "
Post a Comment