Teori pembangunan sebagai pola pikir yang berfungsi mengupas dan memecahkan persoalanpersoalan pembangunan, muncul bersamaan pada saat para pakar mencoba membahas pembangunan sekitar tahun 1940-an sampai tahun 1960-an.
Pada saat itu banyak bermunculan negara-negara yang baru merdeka. Berbagai tantangan dihadapi oleh negara-negara tersebut, terutama keterbelakangan di bidang ekonomi. Usaha untuk mengejar ketinggalan di bidang ekonomi, ditempuh melalui pembangunan. Sejak itu teori-teori pembangunan sering digunakan sebagai “resep” bagi negara dunia ketiga yang padat penduduk, untuk menciptakan perubahan yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Konsep pembangunan memiliki banyak teori yang melatarbelakanginya. Tulisan ini akan membahas, tiga teori pembangunan yang utama: teori modernisasi, teori ketergantungan dan keterbelakangan, dan teori penyadaran. Teori Modernisasi. Teori modernisasi merupakan salah satu teori yang dianggap dominan sejak akhir dasawarsa 1940. Teori ini menyebutkan bahwa pembangunan terdiri atas beberapa tahap yang berurutan, yang satu tahap mengarah kepada tahap berikutnya yang lebih tinggi (Gonzalez dalam Jahi, 1988: 74). Dalam hubungan ini, untuk mencapai tahap industrialisasi seperti yang ada di negara-negara Barat, negara Dunia Ketiga harus melalui beberapa tahap pembangunan dalam suatu kurun waktu tertentu.
Menurut Rostow (dalam Lauer, 1989), ada lima tahap perkembangan ekonomi dan industri yang dapat dijalani oleh suatu negara, yaitu (1) tingkat tradisional, (2) syarat untuk tinggal landas, (3) tinggal landas, (4) dorongan menuju kematangan, dan (5) tingkat konsumsi massal. Pada tingkat masyarakat tradisional, terdapat keterbatasan potensi produktivitas, ilmu, dan teknologi. Cara hidup masyarakat masih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tidak rasional. Kegiatan pertanian menonjol tetapi produktivitasnya rendah dan modal yang tersedia kecil. Jumlah penabung sangat sedikit dan jumlah yang buta huruf cukup banyak.
Dalam era syarat untuk tinggal landas, mulai terbentuk syarat yang diperlukan untuk industrialisasi. Rakyat mulai yakin bahwa kemajuan ekonomi dapat dicapai dan ini sangat menguntungkan. Bank-bank mulai banyak didirikan, kuantitas dan kualitas pendidikan berubah untuk mempersiapkan orang dalam menghadapi perubahan ekonomi. Pemerintah sentral yang kuat mulai terbentuk sehingga tercipta stabilitas politik. Pada tahap tinggal landas, telah diterapkan teknik industri modern di sejumlah sektor ekonomi, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Selain itu, perkembangan inovasi berjalan dengan pesat. Pendapatan per kapita semakin tinggi. Pada tahap dorongan menuju kematangan atau sesudah lepas landas, telah digunakan secara menyeluruh penerapan teknologi modern pada seluruh sektor perekonomian. Pada tahap ini, sektor ekonomi baru mulai bermunculan menggantikan sektor ekonomi lama.
Hal ini merupakan mekanisme yang mendorong terusmenerus pertumbuhan ekonomi. Segera setelah tingkat kematangan dicapai, maka perhatian tidak lagi pada industri tetapi pada konsumsi masyarakat, menciptakan masyarakat adil dan makmur atau memperbesar kekuasaan dan pengaruh ke luar negeri.
Inkeles dan Smith, seperti yang dikutip Gonzalez, menyebutkan bahwa dalam teori modernisasi, individu memainkan peranan utama. Individu-individu di negara dunia ketiga harus menyosialisasikan ke dalam kepercayaan, nilai, sikap, dan cara kerja yang lebih rasional agar menjadi warga masyarakat yang modern (Jahi, 1988: 75).
Lebih lanjut, Gonzalez mengungkapkan bahwa ideologi pembangunan yang dominan ini, kemudian dijabarkan dengan lebih jelas dalam model “tetesan ke bawah”. Menurut model ini, manfaat program-program intervensi sosial di negara-negara dunia ketiga akan menetes ke bawah kepada setiap orang. Mulai dari mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi dan selanjutnya diteruskan kepada mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah (Jahi, 1988 : 75).
Teori modernisasi melahirkan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Model seperti ini ternyata tidak memberi hasil yang memuaskan. Kesenjangan sosial ekonomi di dunia ketiga semakin lebar. Manfaat pembangunan ternyata tidak menetes jauh ke bawah.
Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan.
Ketidakpuasan pada hasil yang diperoleh dari teori modernisasi, menimbulkan teori ketergantungan dan keterbelakangan. Teori ini menjelaskan fenomena ketergantungan yang menyebabkan keterbelakangan. Pendekatannya bermula digunakan di Amerika Latin untuk mempelajari keterbelakangan pembangunan negara-negara itu, kemudian meluas ke negaranegara dunia ketiga lainnya.
Menurut Paul Baran, faktor utama yang menyebabkan keterbelakangan adalah proses eksploitasi oleh pihak asing sebagai akibat hubungan ekonomi dengan pihak asing yang tidak adil. Ini berarti ekspansi ekonomi dari perusahaan multinasional ke negara-negara Dunia Ketiga, hanya memberikan keuntungan ekonomi yang lebih kecil dibandingkan dengan yang diserap oleh negara maju (Arif dan Sasono, 1981: 23). Ketergantungan seperti ini, juga terjadi dalam suatu negara, yaitu ketergantungan desa terhadap kota yang memiliki sumber ekonomi. Ketergantungan tidak saja terjadi di bidang ekonomi tetapi juga terjadi di bidang budaya.
Imperialisme budaya oleh Kunczik (1984: 250) dipandang dari teori ketergantungan, yaitu ketika kebudayaan suatu bangsa (sentrum) secara sepihak dipaksakan pada bangsa lain (periferi) dengan mengorbankan integritas kebudayaan mereka. Baik imperialisme budaya maupun imperialisme media merupakan suatu kondisi dari hegemoni kebudayaan suatu negara kepada suatu negara atau banyak negara lain, melalui produkproduk budaya dari perusahaan-perusahaan media internasional ataupun multinasional. Kenyataan adanya imperialisme budaya di antara negara-negara di dunia ini terlihat pada (1) adanya ketidakseimbangan arus informasi internasional, baik berupa berita maupun hiburan, (2) adanya konsekuensi logis dari penggunaanpenggunaan teknologi komunikasi modern, (3) berlangsungnya konsep globalisasi di hampir semua aspek kehidupan dunia.
Teori ketergantungan dan keterbelakangan ini, tidak terlepas dari kritik, misalnya, dia tidak bisa menjelaskan terjadinya akumulasi modal yang dapat mempercepat timbulnya negara-negara industri baru.
Teori Penyadaran.
Penyadaran (konsientasi) adalah belajar memahami kontradiksi sosial, politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut (Dananjaya dalam Freire, 1972). Teori ini merupakan salah satu solusi terhadap keterbelakangan yang banyak dialami negara-negara Dunia Ketiga. Penyadaran merupakan kunci dari upaya mendorong dan membantu rakyat membebaskan diri sendiri.
Salah satu bentuk penyadaran yang dikatakan Freire (1984), yaitu membiasakan rakyat mengenal kemampuan mereka sendiri, untuk menumbuhkan kelembagaan demokrasi yang benar. Pengenalan itu dilakukan dengan membiasakan rakyat pada praktik kebebasan melalui pendidikan.
Gonzalez mengatakan, sebagai suatu proses untuk menambah kemampuan, pendidikan dapat memberikan keterampilan pada kelompokkelompok tertentu dalam sistem pemakai, untuk berpikir secara kritis tentang isu-isu dan untuk menganalisis situasi mereka sendiri, bebas dari sistem sumber (Jahi, 1988: 76).
Lebih jauh lagi, mereka harus mengetahui mengapa mereka tergantung pada negara lain. Penyebab yang menonjol saat ini, adalah karena mereka kurang memperhatikan strategi sumberdaya manusia, dan ini dapat diatasi melalui pendidikan dan menumbuhkan kesadaran pada semua lapisan masyarakat, termasuk para pengambil keputusan. Indonesia dapat dijadikan contoh, sebagai negara yang memiliki potensi yang besar, untuk mengekspor produk holtikultura, kerajinan tangan, dan lain sebagainya, tetapi belum dapat memanfaatkan potensi itu.
Kendala ini, antara lain, karena kurang pandai mencari atau merebut informasi, belum bisa menerapkan prinsipprinsip pemasaran yang andal dan kesemuanya ini tidak dapat dilepaskan dari belum diterapkannya analisis khalayak yang memadai. Selanjutnya Gonzalez mengungkapkan bahwa pendidikan tidak hanya digunakan untuk menyosialisasikan individu-individu, tetapi juga untuk mempelajari masalah-masalah pembangunan secara kritis bersama rakyat. Jika pembangunan ditujukan untuk rakyat, maka mereka harus memiliki peranan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan untuk mereka itu (Jahi, 1988: 76).
Teori penyadaran telah mengilhami lahirnya model pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development). Model ini memberikan peran pada warga masyarakat, bukan hanya sebagai subjek melainkan sebagai aktor yang menentukan tujuan-tujuannya sendiri, menguasai sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi hidupnya sendiri (Korten, 1983).
Belum ada tanggapan untuk "Teori-Teori Pembangunan dari Para Ahli"
Post a Comment