Masyarakat posmodern dibangun oleh perkembangbiakan komunikasi yang tanpa batas, yang ‘melampaui’ (hyper-communication) alam komunikasi itu sendiri. Pertumbuhan komunikasi terus berlangsung tak terkendali dengan kecepatan tinggi, dengan berbagai bentuk, gaya, langgam, dan variasi (talk-show, chatting, bincang-bincang fans, temu bintang, kuis) sampai pada satu titik, di mana ia kehilangan logika tujuan, fungsi, dan maknanya dalam membangun kehidupan manusia yang berkualitas. Komunikasi berkembang semakin cepat dengan bentuk semakin beraneka-ragam.
Akan tetapi, dalam kecepatan dan keanekaragaman tersebut ia semakin kehilangan arah tujuannya. Komunikasi dan informasi berkembang ke arah sebuah kondisi ‘penggembungan (exrescence), yang menciptakan semacam ‘masyarakat kegemukan’ (excrescental society): kegemukan informasi, kegemukan komunikasi, kegemukan tontonan, kegemukan berita, kegemukan data. Maksimum komunikasi, minimum makna; kegemukan informasi, kehampaan makna.
Dunia menggembung oleh informasi yang tidak dapat lagi dicerna pesan-pesannya; oleh komunikasi-komunikasi banal yang tidak dapat lagi ditemukan nilai gunanya; oleh hutan rimba citraan yang tidak dapat lagi ditafsirkan makna-maknanya; oleh tontonan yang tidak lagi menimbulkan konsekuensi apa-apa pada pembangunan manusia berkualitas.
Inilah kegemukan komunikasi dan informasi masyarakat posmodern yang—dalam kegilaan komunikasinya—meriset, menyimpan, merekam, menulis, memprogramkan, mememorikan, mengasetkan, mendisketkan, memvideokan, menelevisikan, menayangkan, menyiarkan, memublikasikan apa pun, yang kemudian menciptakan sebuah dunia banalitas total—the total banality. Komunikasi posmodern juga berkembang ke arah ‘transparansi radikal’, ke arah kecabulan (obscenity)—sebuah dunia komunikasi transparan, yang di dalamnya tidak ada lagi yang perlu disembunyikan, tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan, tidak ada lagi yang perlu dijadikan ruang pribadi (private space).
Segala sesuatu, yang sebelumnya dianggap sebagai rahasia, sebagai ‘domain pribadi’ (private sphere), kini diperbincangkan, didialogkan, dipertontonkan, dan dikomunikasikan di dalam ruang publik (televisi, internet, film, video), dan akhirnya menjadi ‘domain publik’. Dunia komunikasi berkembang ke arah hyper-visibility dan hyper-sensibility, yaitu ke arah sebuah kondisi komunikasi, ketika segala sesuatu menunggu untuk diperlihatkan, dipertontonkan, ditayangkan dan dikomunikasikan secara telanjang di dalam berbagai media, yang menciptakan sebuah dunia ‘ketelanjangan total’ (total transparancy) dan ‘kecabulan total’ (total obscene).
Banyak hal menjadi cabul disebabkan ia menawarkan terlalu banyak tanda, menyuguhkan terlalu vulgar makna, mengumbar segala bentuk ‘rahasia’: kecabulan informasi, kecabulan tontonan, kecabulan politik, kecabulan media. Kecabulan menjadikan segala sesuatu ditampakkan atau ditampilkan dalam wujud hypervision dan close-up, sebuah promiskuitas total citra dan realitas di dalam masyarakat posmodern.
Komunikasi berkembang ke arah over-expose, yaitu kegandrungan untuk mengomunikasikan (memamerkan, memperlihatkan, mendiskusikan) apa pun yang dapat dikomunikasikan. Segala sesuatu (politik, agama, seksualitas, tubuh, anakanak, bahkan kematian) disemiotisasikan dalam bentuk over-semioticisation, segala sesuatu dijadikan sebagai tanda dalam bentuk over-signification, segala sesuatu dikomunikasikan dalam bentuk over-communication. Ketika segala sesuatu dijadikan sebagai tanda di dalam wacana over-signified, yang berubah dan berganti dalam kecepatan tinggi, maka makna itu sendiri tidak mungkin lagi ditangkap, nilai-nilai di baliknya tidak bisa lagi dicerna.
Yang kita saksikan adalah sebuah dunia komunikasi, yang di dalamnya informasi, tontonan, berita, citra berkembang, mengalir secara bebas tanpa tujuan yang pasti—hyper-information
Belum ada tanggapan untuk "Posmodernisme dan Ekstasi Komunikasi "
Post a Comment