Bentuk komunikasi posmodern yang merayakan permainan bebas tanda, telah menggiring komunikasi ke arah kondisi yang ‘melampaui’ alam, fungsi atau sifat komunikasi itu sendiri sebagai wacana pertukaran tanda dan makna (sign exchange).
Jean Baudrillard, menggunakan istilah hiper-realitas (hyper-reality) untuk menjelaskan kondisi realitas (komunikasi) yang ‘melampaui’ ini, yang dicirikan oleh berbagai bentuk perekayasaan, dan distorsi makna di dalam komunikasi, yang menciptakan semacam ‘hiperrealitas komunikasi’ (hyper-reality of communication).
Hiper-realitas komunikasi menciptakan satu kondisi komunikasi, yang di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan informasi, antara simulasi dan realitas di dalam hiperrealitas komunikasi tidak dapat lagi dibedakan.
Berkembangnya hiper-realitas komunikasi tidak terlepas dari perkembangan teknologi media komunikasi ke arah apa yang disebut sebagai teknologi simulasi (simulation technology). ‘Simulasi’, sebagaimana yang dijelaskan oleh Baudrillard di dalam Simulations, adalah “. . . penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal usul atau referensi realitas.”
Artinya, yang tercipta lewat teknologi simulasi adalah ‘realitasrealitas artifisial’, yang tidak ada rujukannya (bukti atau kebenarannya) dalam apa yang kita sebut sebagai ‘realitas’. Dalam konteks media komunikasi, simulasi adalah penciptaan ‘realitas media’ yang tidak lagi mengacu pada ‘realitas di dunia nyata’ sebagai referensinya, sehingga ia merupakan sebuah ‘tandingan realitas’, yang disebut dengan ‘simulakrum realitas’ (simulacrum of reality).
Simulakrum realitas ini seakan-akan tampil sebagai realitas yang sebenarnya, padahal ia adalah ‘realitas artifisial’ (artificial reality), yaitu ‘realitas’ yang diciptakan lewat trik-trik citraan dan pemodelan dalam teknologi simulasi. Simulakrum media dapat menciptakan ‘realitas’ yang menyerupai atau meniru realitas yang ada.
Bahkan, pada tingkat tertentu ‘realitas media’ ini dianggap (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. Ia bahkan dapat ‘menyembunyikan’ sebuah realitas (kebenaran, otentisitas) yang sesungguhnya, lewat kecanggihan penampakannya.
Media komunikasi posmodern adalah media yang memproduksi rangkaian simulakrum tersebut, yang mendefinisikan dan mengarahkan apa yang disebut sebagai ‘realitas’, merumuskan apa yang disebut sebagai ‘kebenaran’ (truth) di dalam masyarakat posmodern.
Tidak semua citra yang ditampilkan dan dikomunikasikan di layar televisi, video atau internet merupakan representasi dari realitas yang sesungguhnya, melainkan ‘realitas buatan’, akan tetapi masyarakat dapat digiring untuk mempercayainya sebagai sebuah kebenaran. Citra tersebut kini dapat diciptakan, direkayasa, atau dibuatkan simulakrumnya di sebuah studio televisi atau di sebuah tempat palsu: kebakaran, ledakan bom, orang-orang yang berdarah, mayatmayat—semuanya kini dapat diciptakan simulakrumnya lewat teknologi simulasi media mutakhir.
Arak-arakan simulacra ini telah menyebar berjuta kepalsuan informasi; telah menabur berjuta kesemuan citra; telah menebar berjuta topengtopeng kebenaran. Simulakrum informasi yang berlangsung dalam waktu yang lama pada satu titik akan menimbulkan ketidakpercayaan pada informasi itu sendiri, bahkan pada setiap informasi.
Di dalam situasi yang normal, informasi akan membawa kita pada kebenaran, pada kenyataan. Akan tetapi, kini, melalui mesin-mesin simulacra, informasi justru menggiring masyarakat ke arah ketidakpastian dan chaos. Di antara berbagai krisis kepercayaan yang muncul akhir-akhir ini di dalam masyarakat kontemporer, salah satunya yang sangat menonjol adalah krisis kepercayaan terhadap informasi. Informasi kehilangan kredibilitas disebabkan ia dianggap tidak lagi mengungkapkan kebenaran, tidak lagi merepresentasikan realitas, tidak lagi mengungkap fakta.
Angka-angka statistik, nilai tukar, inflasi, GNP, kerusuhan, skandal, angka pemilihan umum, hasil referendum kini kehilangan kredibilitas, disebabkan sebagian besar hanya dianggap sebagai topeng-topeng kesemuan yang tidak menggambarkan realitas sosial yang sesungguhnya. Informasi kehilangan kredibilitas disebabkan anggapan bahwa informasi tersebut tak lebih dari sebuah hasil rekayasa, sebuah hasil distorsi realitas.
Belum ada tanggapan untuk "Posmodernisme dan Hiper-realitas Komunikasi "
Post a Comment