Versi lengkap mitos To-manurung dari Bantaeng tersebut adalah sebagai berikut.
Ceriteranya dimulai pada beberapa abad yang lalu, ketika orang Sulawesi Selatan masih belum memeluk agama Islam, ada seorang pria turun dari langit, yang kemudian disebut To-manurung. Ini terjadi di daerah Bantaeng yang pada waktu itu masih terdiri atau meliputi daerah Onto saja. Dari tempat dia turun ini To-manurung pergi mengembara dan tempat yang dia kunjungi atau lewati, yang semula berupa laut berubah menjadi daratan. Berturut-turut dia mengunjungi Mangepong, Karatuwang, Bontosung-gu dan LindulaE, yang ketiga-tiganya kemudian masuk ke dalam wilayah Bisampole, sampai akhirnya dia memilih Bisampole sebagai tempat tinggal. Penduduk membangun sebuah rumah besar untuknya, yang dia tinggali bersama Pole, seorang laki-laki dari Karatuwang yang telah mengikutinya hingga ke Bisampole. Dengan didampingi oleh Pole To-manurung ini setiap hari menerima laporan dari 12 orang yang merupakan orang-orang terpilih dari penduduk, dan mereka ini disebut To-mangada.
Pada suatu hari To-manurung berkata kepada mereka. “Kelihatannya terlalu repot buat kalian untuk menghadap saya setiap hari karena itu saya mengusulkan untuk memilih seseorang yang bisa bertindak sebagai wakil kalian”.
Setelah 12 To-mangada ini menentukan pilihan mereka atas seseorang dari Karatuwang, mereka mengajukan pilihan tersebut kepada Tomanurung, yang kemudian menguatkan pilihan tersebut dan memberinya gelar To-ni-gallaraka. Semenjak saat itu To-mangada ini hanya kadangkadang saja menghadap pada To-manurung, yang selalu duduk didampingi oleh Pole di sebelah kiri dan To-ni-gallaraka di sebelah kanan.
Suatu ketika mereka berkumpul bersama, dan To-manurung berkata: “Sayang sekali saya tidak dapat memberikan sesuatu pada kalian karena saya sendiri tidak memiliki apa-apa”. Mereka yang diajak bicara menjawab bahwa mereka sudah tahu hal itu, dan karenanya mereka telah memutuskan untuk membuka sawah-sawah bagi To-manurung. Kemudian Pole bersama To-mangada memanggil penduduk, dan dengan bantuan mereka mulailah dibuka sawah-sawah baru. Selesai mengerjakan ini mereka memberitahukannya pada To-manurung. Tiap-tiap To-mangada kemudian menunjuk empat orang dari kalangan penduduk yang ditugaskan untuk mengerjakan sawah tersebut dan mereka disebut baku atau to-ni-pabaku-eroki.
Setelah diadakan pembicaraan dengan Tomanurung, Pole dan To-ni-gallaraka, mereka menentukan bahwa hasil dari sawah-sawah tersebut sebagian akan disediakan untuk keperluan To-manurung, sebagian untuk Pole, untuk To-nigallaraka, sebagian untuk 12 orang To-mangada, dan sisanya untuk 48 to-ni-pabaku-eroki.
Tidak lama setelah itu menghilanglah To-manurung dengan diam-diam. Pole dan To-ni-gallaraka tetap tinggal di rumah To-manurung tersebut di Bisampole, dan mulailah mereka berselisih karena masing-masing ingin berkuasa. Sementara itu, 12 orang To-mangada beserta anak-buahnya atau rakyatnya telah mendirikan tempat-tempat tinggal yang baru.
Setelah 40 hari To-manurung menghilang Pole dan To-ni-gallaraka mendengar To-manurung berkata kepada mereka: “Saya tidak dapat lagi kembali ke bumi. Kamu Pole, jadilang jannang di Bisampole dan To-ni-gallaraka menjadi galarang Bantaeng, dan juga menjadi ketua dari 12 To-mangada, yang akan memerintah daerah-daerah baru yang telah mereka dirikan, dengan gelar jannang. Untuk penggantiku sebagai karaeng Bantaeng adalah orang yang kalian pilih dari sembilan orang bersaudara yang tinggal di Karatuwang”. Pole dan To-ni-gallaraka kemudian menyuruh seorang tua, bernama towa untuk mengundang 12 orang To-mangada agar berkumpul di Bisampole. Mereka menjawab permintaan ini dengan usul agar dua hari kemudian mereka bertemu di Bon-tosunggu. Pada hari berkumpul tersebut Pole dan To-ni-gallaraka menyampaikan pesan To-manurung. Para To-mangada ini kemudian meminta agar Pole dan To-ni-gallaraka menunjuk seseorang yang sesuai sebagai pengganti Tomanurung menjadi Karaeng Bantaeng, namun mereka berdua merasa bahwa akan lebih baik jika To-mangada yang menjatuhkan pilihan saja, dan mereka menguatkannya. Untuk itu, mereka sepakat guna bertemu lagi dua hari kemudian di Bisampole dan sembilan orang bersaudara, yang salah satu di antaranya akan mereka pilih menjadi karaeng akan diundang juga. Towa dan empat orang To-mangada kemudian pergi ke Karatuwang guna menyampaikan undangan tersebut.
Pada hari yang ditentukan, Pole, To-ni-gallaraka bersama 12 To-mangada berkumpul di Bisampole. Sembilan bersaudara dari Karatuwang juga muncul dalam rapat tersebut, di mana diputuskan orang yang tertua dari mereka, yaitu Masanigaya, diangkat sebagai Karaeng Bantaeng. Selesai pertemuan ini sembilan bersaudara balik ke Karatuwang dan Masanigaya meminta ijin pada ayahnya––yang bernama Macangea, dan telah turun dari langit bersama sembilan anak laki-lakinya di Karatuwang––untuk menerima jabatan tersebut, dan ayahnya mengijinkan. Dua hari setelah itu Pole, To-ni-gallaraka serta 12 Tomangada datang ke Karatuwang untuk membawa Masanigaya ke tempat tinggal To-manurung di Bisampole. Di sana mereka juga berjanji untuk memberikan semua yang telah mereka buat dan sediakan bagi To-manurung pada Masanigaya.
Tidak lama setelah peristiwa ini, Pole―yang sementara itu telah mendapat gelar jannang Bisampole―bermimpi. Dalam mimpi tersebut To-manurung telah berpesan kepadanya bahwa dia akan turun ke bumi lagi tidak dalam wujud manusia melainkan dalam wujud sebuah patung emas. Pole harus mencari patung ini di Bantaeng dan dengan mengenakan sebuah topi serta sarung putih, dan dalam sarung ini dia harus menyembunyikan atau membawa sebuah birang, yaitu secarik kain putih yang dilipat. “Dalam birang itu” kata To-manurung “saya akan datang. Kemudian bawalah saya ke rumah saya di Bisampole lagi, dan sejak saat itu saya akan tetap tinggal bersama orang yang menduduki jabatan Karaeng Bantaeng”.
Pole segera memberitahukan mimpinya ini kepada 12 To-mangada dan kemudian mereka bersama-sama pergi ke Bantaeng (Onto). Sampai di sana Pole–– yang telah mengenakan pakaian seperti yang diminta oleh To-manurung––berkata: “Karaeng Manurung, kami semua sekarang berkumpul di sini, datanglah seperti yang dijanjikan”. Begitu selesai dia mengucapkan kata-kata ini, dia merasakan sesuatu dalam birangnya, yang telah dibawanya. Dia tidak berani membuka lipatan birang tersebut, namun dia berkata kepada orang lain, bahwa benda yang mereka tunggu telah ada dalam birang tersebut. Tiba-tiba muncullah di hadapan mereka poki banrange, sebuah klewang (atau sonri yang kemudian dinamakan ana loloa), sebuah poke pangka (sebuah tombak bermata dua, yang kemudian disebut lowo), sebuah badik kecil (sekarang dikenal dengan nama tajina lompowa) serta sebuah bendera hitam (yang selanjutnya disebut balonga).
Benda-benda ini menurut Pole termasuk milik To-manurung. Bersama-sama dengan patung emas yang telah masuk dalam birang tadi, mereka kembali ke rumah To-manurung di Bisampole, di mana Masanigaya, Karaeng Bantaeng yang pertama tinggal.
Galarang dari Bantaeng dan jannang 12 di bawahnya kemudian membentuk Hadat Bantaeng, dan 12 jannang tersebut dinamakan ada sampulu ruwa, nama ini tetap dipertahankan, walaupun kemudian ditambah dengan karaeng dari Kaili. Kaili ini pada mulanya adalah kekaraengan yang berdiri sendiri, namun dengan sukarela kemudian menjadi palili dari Bantaeng (Goedhart 1920a: 2–9)”.
Belum ada tanggapan untuk "Mitos To-manurung: Versi Bantaeng"
Post a Comment