Dalam
sebuah konflik dibutuhakan suatu tindakan peyelesaian konflik (resolusi
konflik). Resolusi konflik merupakan istilah yang lebih komprehensif yang
menggambarkan bahwa akar dan sumber terjadinya konflik ditangani dan diubah.
Hal ini berarti bahwa perilaku kekerasan tidak ada lagi, sikap bermusuhan tidak
terjadi lagi serta struktur konflik yang terjadi telah berubah menuju arah
perubahan dan penyelesain konflik dengan baik.
Penyelesaian
konflik dapat diselesaikan dengan cara-cara tidak formal yang biasa dilakukan
terlebih dahulu yang kemudian dilakukan dengan cara-cara formal. Sejalan dengan
itu, Hendropuspito dalam Alimudin (2006:49) mengemukakan bahwa cara yang lazim
digunakan dalam penyelesain konflik adalah konsiliasi, mediasi, arbitrase,
correction (paksaan), dan détente. Urutan-urutan penyelesaian konflik tersebut
dibuat berdasarkan kebiasaan seseorang dalam mencari penyelesaian suatu masalah
yaitu dari cari yang termudah (tidak formal) yang dilakukan terlebih dahulu
baru kemudian ditempuh dengan cara resmi (formal) jika cara yang pertama tidak
berhasil.
Pada
bagian lain Huug Miall dalam Alimuddin (2006:49-54) menawarkan bentuk-bentuk
dari penyelesaian konflik melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, memecahkan
masalah, dan rekonsiliasi.
1.Negosiasi
Bentuk
pertama adalah negosiasi, Huug Miall dalam Alimuddin (2006:50) mengatakan bahwa
negosiasi adalah proses dimana pihak-pihak yang bertikai mencari cara untuk
mengakhiri atau menyelesaikan konflik. Lebih lanjut Goodpaster dalam Alimudin
(2006:50) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi
negosiasi antara lain kekuatan tawar menawar, pola tawar menawar, dan strategi
dalam tawar menawar.
2. Mediasi
Bentuk
kedua adalah mediasi, mediasi berasal dari kata “mediation” yang mempunyai arti
penyelesaian pertikaian dengan perantara atau mediator. Hendropuspito dalam Alimuddin
(2006:52) menjelaskan bahwa mediasi yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian
dengan menggunakan perantara atau mediator. Dalam hal ini seorang mediator
tidak mempunyai wewenang dalam memberikan keputusan yang mengikat dan hanya
bersifat konsulatif. Pihak-pihak yang yang bersengketalah yang harus mengambil
keputusan untuk menghentikan perselisihan. Moore dalam Alimudin (2006:52)
mengemukakan bahwa pada prinsipnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan
pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat mendorong
para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak
ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari negosiasi.
3. Konsiliasi
Bentuk
ketiga adalah Konsiliasi, Oppenheim dalam Alimuddin (2006:53) menjelaskan bahwa
konsiliasi adalah penyelesaian sengketa adalah menyerahkan pada suatu komisi
yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta dan biasanya setelah
mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan,
membuat ususlan-usulan untuk suatu penyelesaian, namaun keputusan tersebut
tidak mengikat. Lebih lanjut Soekamto dalam Alimudin (2006:53) memberi arti
konsiliasi sebagai suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari
pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
Konsiliasi bersifat lebih lunak daripada paksaan dan membuka kesempatan bagi
pihak-pihak yang bersangkutan untuk berasimilasi. Institute for democracy and
electoral assistance dalam Alimudin (2006:53) mengemukakan tujuan utama dari
konsiliasi adalah untuk membantu mengidentifikasi isu-isu terpenting yang
menyebabkan ketegangan, untuk meredakan ketegangan dan menggerakan kedua pihak
untuk melakukan interaksi langsung mengenai isu-isu teridentifikasi.
4. Memecahkan Masalah
Bentuk
keempat adalah Memecahkan Masalah, Huug Miall dalam Alimudin (2006:54)
mengemukakan bahwa memecahkan masalah adalah sebuah usaha yang lebih ambisius
bahwa pihak-pihak yang bertikai diundang untuk mengonseptualisasikan ulang
konflik dengan sebuah pandangan untuk menemukan hasil yang kreatif, hasil
menang-menang. Dalam suatu proses penyelesaian konflik melalui proses
memecahkan masalah, dibutuhkan adanya dialog-dialog yang luas dikalangan
masyarakat yang bertikaipada semua lapisan mengenai masalah yang menjadi sumber
konflik, akibat konflik, dan penyelesain konflik dengan pendekatan suatu model
dialog, dan pemecahan masalah. Assefa dalam Alimudin (2006:54) menyatakan
bahwa: Model dialog pemecahan masalah berbeda dengan model resolusi konflik
konvensional pada umumnya yang menekankan pada pada pendekatan mediasi dan
negosiasi yang berifat formal, model pendekatan ini menekankan dialog-dialog
informal yang berfungsi untuk memfasilitasi tumbuhnya inisiatif dan partisipasi
luas di kalangan warga komunitas untuk memecahkan masalah-masalah konflik dan
kebutuhan hidup bersama dan bersifat interaktif dengan melibatkan partisipatif
aktif warga komunitas.
5. Rekonsiliasi
Bentuk
kelima adalah rekonsiliasi, Lambang Triono dalam Alimuddin (2006:54) mengatakan
bahwa rekonsiliasi adalah sebuah proses, dan bukan semata-mata menemukan
penyelesaian masalah namun mengubah hubungan pihak-pihak yang berkonflik dari
permusuhan menuju pada pertemanan dan kerja sama. Dengan kata lain bahwa
rekonsiliasi merupakan tujuan akhir dari semua upaya peneyelesain konflik.
Lebih jauh Assefa dalam Alimudin (2006:55) mengartikan bahwa rekonsiliasi
adalah sebagai suatu proses pemuliahan hubungan, koeksistensi damai, hidup
berdampingan dan tidak saling mengganggu satu sama lain.
PUSTAKA
- Alimuddin,
2006, Konflik Etnik: Peran Pemerintah Daerah Dalam Penyelesaian Konflik
Sosial, Alqaprint, Sumedang.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "5 Bentuk Penyelesaian Konflik, salah satunya adalah Rekonsiliasi"
Post a Comment