Gambaran birokrasi yang besar dan gemuk dapat menghabiskan banyak sumber daya, kenyataan ini sudah banyak terlihat pada birokrasi selama ini baik di pusat maupun daerah. Organisasi pemerintahan daerah dibangun dan dikembangkan dengan menggunakan azas uniformitas. Adaptasi terhadap keragaman aktualitas kontektual lokal tidak direspon secara proporsional. Akibatnya penamaan, jenis dan jumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dikembangkan di seluruh Daerah di Indonesia hampir sama. Tanpa melihat, apakah SKPD yang dikembangkan tersebut diperlukan dalam rangka merespon kepentingan masyarakat atau tidak.
Dalam praktek otonomi daerah dibawah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 maka pemerintah daerah diberi kebebasan untuk menetapkan penamaa/nomenklatur, jenis dan jumlah skpd yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan beban kerja yang ada ditingkat pemerintah daerah. Dengan kebijakan pemerintah yang demikian, secara implisit sebenarnya terlihat nuansa kesadaran bahwa praktek pembentukan kelembagaan birokrasi pemerintah daerah yang uniform sudah tidak relevan dengan dinamika lingkungan internal maupun eksternalnya. Nuansa implisit lainnya sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa organisasi yang dibentuk pemerintah daerah haruslah disesuaikan dengan kondisi daerah.
Dengan berpedoman kepada hal tersebut diatas maka sebenarnya bagi daerah – daerah yang memiliki volume dan kompleksitas permasalahan yang berbeda dengan daerah lainnya juga harus memiliki, menetapkan dan mengembangkan organisasi di lingkungan pemerintahannya yang berbeda pula. Bagi daerah yang memiliki volume dan kompleksitas permasalahan yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah lainnya seharusnya juga mengembangkan kelembagaan organisasi yang kecil pula. Ini berarti bahwa organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah yang telah eksis selama ini perlu dikaji ulang untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi dan tuntutan Era Otonomi Daerah.
Meskipun peraturan pemerintah tersebut telah mengisyaratkan akan perlunya sebuah bentuk Birokrasi Daerah yang berbeda dari yang telah ada sekarang ini, namun ternyata dalam realitas pelaksanaan Otonomi Daerah di Era Reformasi dan Demokratisasi ini fenomena - fenomena yang ditampilkan oleh Pemerintah Daerah dalam merestrukturisasi dan atau mengembangkan organisasi dilingkungannya masih seperti pada masa sebelumnya. Birokrasi Daerah masih saja dibangun dengan gaya struktur lama dan cenderung justeru lebih besar dari masa sebelumnya. Dengan adanya tampilan yang demikian maka kehendak untuk mewujudkan pemberdayaan rakyat akan menemui persoalan, sebab sebagian besar dana pemerintah akan tersedot untuk membiayai birokrasi sedangkan untuk pemberdayaan rakyat menjadi tidak terprioritaskan.
Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 telah memungkinkan terbangunnya sebuah Birokrasi Pemerintahan Daerah yang besar. Terbangunnya sebuah organisasi birokrasi yang besar juga mengakibatkan terjadinya overlap implementasi tugas pokok dan fungsi antar organisasi yang ada. Banyaknya keragaman organisasi birokrasi yang dibangun oleh Pemerintah Daerah menciptakan potensi terjadinya duplikasi pelaksanaan tugas. Kondisi ini selain menciptakan sulitnya koordinasi pada tataran implementasi kebijakan publik juga berakibat pada pemborosan penggunaan sumber daya.
Banyaknya keragaman organisasi yang dibangun juga menciptakan semakin banyak kemungkinan terciptanya garis konflik diantara organisasi birokrasi itu sendiri. Konplik antar organisasi birokrasi diakibatkan oleh adanya rebutan tugas (proyek), sinyalemen ini selain akan menyebabkan inefisiensi juga berakibat terbengkalainya pelayanan publik. Didasari oleh argumentasi tersebut maka selayaknya dalam restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah maka hal tersebut perlu mendapat pertimbangan yang proporsional, sehingga organisasi birokrasi yang dibangun oleh pemerintah daerah adalah merupakan sebuah organisasi birokrasi yang benar-benar sesuai dengan keinginan jaman.
Secara lebih luas dengan adanya Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah sebenarnya adalah dalam kerangka pengembangan kepemerintahan yang baik (Good Governance). Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam kerangka Good Governance diharapkan akan menciptakan suatu penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih akuntabel, transparan, responsive, terbuka, efektif dan efisien, karena dengan penyelenggaraan Good Governance memungkinkan semua elemen yang ada yaitu negara, sektor swasta dan masyarakat bisa terlibat secara proporsional dalam menentukan kebijakan publik yang dibuat dan akan diimplementasikan.
Secara umum, dalam melakukan kebijakan restrukturisasi, pola inventarisasi dan identifikasi kebutuhan dan kemampuan daerah termasuk kemampuan dan kesiapan aparatur yang diterapkan di daerah cenderung masih keliru, sehingga pada gilirannya mengakibatkan sejumlah daerah dalam menerapkan kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta kebutuhan masyarakatnya.
Kekeliruan ini mempengaruhi proses penempatan aparatur yang tidak sesuai dengan spesifikasi keahlian di bidangnya yang pada akhirnya berdampak pada kualitas kinerja penyelenggara pemerintahan daerah dalam melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan secara umum. Kondisi ini, juga terjadi pada pemerintah pusat. Kesalahan dalam melakukan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan, kemampuan serta keahlian aparatur, mempengaruhi pola pembentukan dan penyusunan struktur organisasi di berbagai kementerian. Hakekat pelaksanaan kebijakan restrukturisasi yang semula dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pada kenyatannya justru cenderung terfokus pada kebutuhan distribusi jabatan dimana keputusan distribusi jabatan inipun lebih banyak dipengaruhi oleh like and dislike tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan, serta spesifikasi keahlian aparat yang diberikan jabatannya.
Penurunan kinerja aparatur dalam suatu organisasi umumnya dipengaruhi oleh pola penempatan orang-orang yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Berkaitan dengan hal ini, Sitanggang (1997 : 139) mengemukakan bahwa orang-orang yang mempunyai keahlian spesialisasi adalah tenaga yang langka dan sangat diperlukan, tetapi bila ditempatkan pada lingkungan atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya maka hasil yang didapat dari tenaga tersebut sebenarnya tidak menguntungkan. Selain ketepatan penataan keahlian menurut bidang, juga perlu keserasian penempatan keahlian menurut tingkatnya.
PUSTAKA
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741)
- Siagian Sondang P., 1987, Organisasi Kepemimpinsn dan Perilaku Administrasi, Gunung Agung, Jakarta
- ____________., 2000, Manajemen Abab 21, Bina Aksara, Jakarta.
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Widodo, Joko., 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi : Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cedekia, Surabaya.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pelaksanaan Restrukturisasi Birokrasi berbasis Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 "
Post a Comment