Menurut Sunggono (1994 : 137), implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Dengan demikian, yang diperlukan dalam implementasi kebijakan ini adalah tindakan-tindakan seperti umpamanya tindakan-tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana peruntukan.
Anderson (1984:189) mengungkapkan : In the United State, as in other modern political systems, public policy is impelemented primary by a complex system of administrative agencies, now often called bureaucracies. These agencies perform most of the day-to-day work of government and thus affect citizens more directly by their action than do other government units. Dengan demikian implementasi kebijakan publik tercakup dalam kompleksitas sistem administrasi publik yang mencakup persoalan-persoalan man, money, material and method yang diselenggarakan oleh unit-unit kerja pemerintahan.
Dengan pandangan praktis, Sunggono (1994 : 137) menjelaskan : Implementasi merupakan “is seen essentially as a technical or managerial problems”. Berpijak pada pengertian ini, maka aspek teknis atau manajemen (dalam suatu organisasi) merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan publik, yang tidak lain, hal ini sebenarnya merupakan suatu proses implementasi kebijakan publik. Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program pelaksanaan telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
Anderson (1984:189) mengatakan “Administration worked with questions of fact, with what is rather than what should be, and consequently could focus on the most efficient means (or “no one best way”) of implementing policy.
Menurut Sunggono (1994 : 138), implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjangnya hingga jenjang pemerintahan yang terendah. Hal ini merujuk pada pemikiran Edward III (1980:1) yang mengatakan : Policy implementation, as we have seen, is the stage of policymaking between the establishment of a policy – such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or the promulgation of a regulatory rule – and the consequences of the policy for the people whom it affects. Dengan demikian, implementasi kebijakan public menimbulkan konsekuensi tertentu pada masyarakat yang dituju dalam proses implementasi kebijakan publik tersebut. Dalam konteks ini, Sunggono (1994:139) mengemukakan skematik proses implementasi kebijakan berikut.

Dari skema itu terlihat, bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Secara konkret antara lain dapat kita lihat jumlah dan isi dari barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, misalnya. Perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyarakat dapat dianggap sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome” atau “policy impact”. Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian, apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik menjadi tidak efektif.
Menurut Sunggono (1994:143), kekurangefektifan implementasi kebijakan publik juga disebabkan karena kurangnya peran para aktor pelaksana (dan badan-badan pemerintahan) dalam implementasi kebijakan publik. Di samping itu, masih menurutnya juga disebabkan masih lemahnya peran para aktor tersebut dalam menyebarluaskan kebijakan-kebijakan publik baru kepada warga masyarakat.
Anderson (dalam Sunggono,1994:143), menjelaskan sebab-sebab anggota masyarakat berkeinginan untuk mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan publik. Sebab-sebab yang dimaksud adalah :
- respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan-badan pemerintah;
- adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;
- adaya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan;
- sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih sesuai (bermanfaat) dengan kepentingan pribadi;
- adanya sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan apabila tidak melaksanakan suatu kebijakan;
- adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan-kebijakan yang kontroversial yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam implementasinya.
Implementasi kebijakan yang berlangsung dalam hierarki instansi pelayanan publik tercakup dalam kegiatan komunikasi. Fungsi komunikasi ini sangat penting dalam proses pelaksanaan kebijakan pemerintah. Menurut Dwidjowijoto (2004: 111) agenda penting dalam pengelolaan pemerintahan adalah komunikasi pemerintahan sebagai salah satu fungsi (manajemen) pemerintahan. Dalam proses implementasi kebijakan, komunikasi sebagai suatu pola interaksi dapat berfungsi untuk mensosialisasikan kebijakan, dan menjalin hubungan kondisional, hubungan situasional dan hubungan fungsional antar sumber daya administrasi. Hubungan kondisional adalah proses interaksi di antara kondisi-kondisi tertentu yang terbangun dalam kegiatan administrasi. Hubungan situasional adalah proses interaksi di antar situasi-situasi tertentu yang berkembang dalam kegiatan administrasi. Hubungan fungsional adalah proses interaksi di antara fungsi-fungsi unit kerja birokrasi yang saling berkaitan di dalam kegiatan administrasi. Dengan demikian fungsi komunikasi dalam proses implementasi kebijakan sangat penting, karena tidak hanya bertujuan membangun persamaan persepsi, tetapi sekaligus juga bertujuan membangun hubungan-hubungan yang selaras di antara elemen-elemen administrasi.
Sumber daya dalam proses implementasi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berguna dan atau dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut secara efektif. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa sumber daya manusia, sumber daya pembiayaan dan sumber daya aturan serta sumber daya sarana dan kebijakan yang diharapkan. Hasil kebijakan dicapai melalui pelaksanaan berbagai program dan kegiatan. Dengan demikian proses implementasi kebijakan mencakup serangkaian pelaksanaan program dan kegiatan tertentu.
Kelemahan yang sering timbul dalam proses implementasi kebijakan adalah masalah birokrasi yang terlalu hirarkis. Dalam konteks ini, Edward III (1980:11) mengemukakan :
Even if sufficient resources to implement a policy exist and implementors know what to do and want to do it, implementation may still be thwarted because of deficiencies in bureaucratic structure. Organizational fragmentation may hinder the coordination necessary to implement successfully a complex policy requiring the cooperation of many people, and it may also waste scatce resources, inhibit change, create confusion, lead to policies working at cross-purposes, and result in important fuctions being overlooked.
As organizational units administer policies they develop standard operating procedures (SOPs) to handle the routine situations with which they regularly deal. Unfortunately, SOPs designed for on going policies are often in appropriate for new policies and may cause resistance to change, delay, waste, or unwanted actions. SOPs sometimes lander rather than help policy implementation.
Dari pemikiran Edward III di atas terungkap bahwa untuk mensukseskan implementasi kebijakan diperlukan koordinasi dan kerjasama para pihak yang secara fungsional terkait dalam proses implementasi kebijakan. Hal ini bisa terjadi karena kompleksitas implementasi kebijakan itu tidak terbatas hanya pada satu atau dua aspek saja. Karena itu, Edward III memandang penting standard operating procedure untuk menyikapi situasi yang timbul dalam proses implementasi kebijakan.
Berdasarkan teori implementasi kebijakan public Edward III (1980:10) yang mengatakan bahwa ada empat cirtical factor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu communication, resources, disposition or attitude and bureaucracy structure disusun definisi konseptual variabel bahwa Impelementasi Kebijakan Fiskal adalah pelaksanaan regulasi yang mengatur fasilitasi kebijakan Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah oleh Direktorat Fasilitas Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah yang ditelaah menurut communication, resources, disposition or attitude and bureaucracy structure. Dari definisi diturunkan 4 dimensi analisis : (1) Dimensi Komunikasi; (2) Dimensi Sumber Daya; (3) Dimensi Disposisi; dan (4) Dimensi Struktur Birokrasi.
Implementasi kebijakan berkorelasi dengan kinerja keuangan karena implementasi kebijakan menurut Edward III (1980:10) yang mengatakan bahwa ada empat kritikal faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu communication, resources, disposition or attitude and bureaucracy structure. Dengan teori kinerja yang merujuk kepada Bernandin & Russel (dalam Sianipar,2000:5) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode waktu tertentu, karena itu dapat dinyatakan bahwa implementasi kebijakan berpengaruh terhadap kinerja keuangan
Belum ada tanggapan untuk "Teori Implementasi Kebijakan Publik "
Post a Comment