Indonesia sebagai Negara kesatuan melaksanakan distribusi kekuasaan. Distribusi kekuasaan tersebut ada yang bersifat vertikal ada pula yang sifatnya horizontal. Distribusi kekuasaan secara vertikal maka kekuasaan negara akan terbagi antara pemerintah pusat disatu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak. Pembagian kekuasaan secara vertikal tersebut dilaksanakan melalui kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi dalam konteks negara kesatuan menempatkan kekuasaan yang terbagi lebih diarahkan pada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk otonomi daerah.
Desentralisasi dalam pandangan Smith (1985:1) sebagai dua hal, yaitu pembalikan konsentrasi administrasi dari pusat ke daerah dan juga pemberian kewenangan secara politik. Desentralisasi dapat dilakukan pada unit-unit pemerintahan di bawah dengan landasan berpikir bahwa kewilayahan yang memiliki otonomi (cheema and Rondinelly, 1983). Desentralisasi dapat dilaksanakan jika pada saat yang sama diimbangi dengan tanggung jawab kontrol terhadap wilayah tertentu yang menjadi dasar pemberian kewenangan tersebut.
Desentralisasi memiliki beberapa tujuan, antara lain tujuan politik yaitu menciptakan terciptanya suprastruktur dan infrastruktur yang demokratis, tujuan administratifnya adalah pencapaian efektivitas, efisiensi dan equity (keadilan), sementara tujuan sosial ekonomi yang diemban oleh desentralisasi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Aspek lain dari penyelenggaraan desentralisasi adalah perwujudan akuntabilitas dan transparansi kehidupan sektor publik. Desentralisasi dibutuhkan karena beberapa alasan, antara lain sebagai wujud pendidikan politik, latihan kepemimpinan politik, keinginan memelihara stabilitas politik, mencegah konsentrasi kekuatan politik di pusat, memperkuat akuntabilitas publik, dan meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat. (Smith, 1986).
Keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah akan ditentukan oleh beberapa hal, antara lain pertama Semakin rendahnya tingkat ketergantungan (degree of dependency) Pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, tidak saja dalam perencanaan tetapi juga dalam penyediaan dana. Karena suatu rencana pembanguna hanya akan efektif kalau dibuat dan dilakukan sendiri oleh pemerintah daerah; dan Kedua Kemampuan daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka (growth from inside) dan faktor-luar yang secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan pembangunan daerah (growth from outside).
Disamping berbagai dampak positif yang dapat dirasakan oleh sebuah negara dalam pelaksanan desentralisasi, maka keuntungan atasnya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah pusat namun juga dalam rangka kepentingan masyarakat lokal. Diantara kepentingan daerah adalah terwujudnya persamaan politik (political equality), munculnya pemerintahan lokal yang bertanggung jawab (local accountability), dan responsivitas masyarakat setempat (local responsiveness) terhadap masalah-masalah obyektif di masyarakat tingkat lokal. Inti dari desentralisasi dalam wujud otonomi daerah diarahkan sebagai wahana untuk mewujudkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan menuju masyarkat Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.
Sesungguhnya tujuan utama reformasi pemerintahan daerah lewat kebijakan desentralisasi, adalah disatu pihak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga lebih mampu berkosentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis dan memahami kecenderungan global yang sangat dinamis. Di lain pihak dengan desentralisasi kewenangan pemerintah kepada daerah, kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitas daerah dalam mengatasi bebagai masalah domestik akan semakin kuat. Agar pemerintah daerah melaksanakan kewenangannya dengan bertanggung jawab, pemerintah pusat melakukan supervisi, mengawasi, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (Rasyid, 2002). Berdasarakan konteks yang sama, kebijakan pemerintahan daerah yang secara substansial bertujuan melakukan reformasi pemerintahan daerah diarahkan pada upaya mempercepat kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi pemerintahan, keadilan keistimewaandan kekhususannya; meningkatkan efisiensi dan efektivitas dengan memperhatikan hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah, potensi daerah dan globalisasi. (Djohan,2008)
Dengan perspekti desentralisasi itu pula, pemerintah daerah mengembangkan manajemen partisipatif. Kewenangan pembuatan peraturan daerah, kebijakan ataupun keputusan harus didesentralisasikan kepada unit-unit lokal yang lebih menguasai masalah dan memahami aspirasi masyarakat. Birokrasi yang hierarkhis harus dapat menyerap aspirasi dan memeberdayakan masyarakat, dan model birokrasi pemerintah tidak lagi sentralistik, karena penyebab tidak adaptif dan inovatif. Birokrasi harus bersimbiosis dengan keinginan rakyat dan situasional dalam menghadapi perubahan dan dinamika serta kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini.
Keberhasilan menyangkut kepuasan masyarakat secara umum guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, selanjutnya akan membawa dampak terhadap meningkatnya semangat peran masyarakat. Birokrat diperlukan suatu kearifan dan kebijaksanaan serta keterbukaan dalam menyampaikan berbagai informasi pembangunan termasuk dalam formulasi peraturan daerah.
Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1992:76) mengemukakan:
The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, place the emphasize on autonomy in the decision making of territorially organized communities, local self-relience (but not autarchy), direct (participatory) democracy and experiential social learning.
Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung (melalui partisipasi) demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Friedman dalam hal ini menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja tetapi juga secara politis sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) baik untuk skala lokal maupun nasional. Sebagai titik fokus dari pemberdayaan ini adalah aspek lokalitas, sebab civil society akan merasa lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Friedmann mengingatkan bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar civil society diabaikan. Sedangkan proses pemberdayaan bisa dilakukan melalui individu maupun kelompok, namun pemberdayaan melalui kelompok mempunyai keunggulan yang lebih baik, karena mereka dapat saling memberikan masukan satu sama lainnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Pemerintah mampu melakukan pemberdayaan masyarakat. Untuk itu dalam konteks menindaklanjuti pendekatan tersebut di atas, Wrihatnolo dan Riant Nugroho, (2007:37-39) mengatakan bahwa ada 5 (lima) alasan perlunya pemberdayaan masyarakat yang menurut hemat penulis diperankan oleh pemerintah dalam memberdayakan masyarakat, yaitu:
Pertama, demokratisasi pembangunan, yang dipercaya mampu menjawab tantangan pelibatan aktif setiap rakyat; kedua, penguatan peran organisasi kemasyarakatan lokal; ketiga, penguatan modal sosial; keempat, penguatan kapasitas birokrasi lokal. Konsep ini diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran pemeritah daerah memberikan perhatian yang lebih besar kepada rakyatnya agar dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik maupun non fisik secara mudah; dan kelima mempercepat penanggulangan kemiskinan.
Kapabilitas yang dituntut dari pemerintah dalam konteks pemberdayaan masyarakat diantaranya Kapabilitas Ekstraktif, hal ini berarti pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya pemerintahan yang dimilikinya untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya pemerintah melaksanakan kapabilitas Distributif. Melalui aplikasi kapabilitas ini, pemerintah daerah mendistribusikan sumber daya pemerintahan yang dimiliki tersebut di atas secara merata ke masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara dan daerah itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Peran yang juga dibutuhkan dari Pemerintah Daerah adalah peran regulasi (pengaturan), baik terhadap individu maupun kelompok. Selanjutnya Kapabilitas Simbolik yang berarti menuntut Pemerintah Daerah untuk memiliki kemampuan dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Peran responsif dalam proses pemerintahan terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
Selain menjalankan peran diatas, pada saat yang sama pemerintah menjadi fasilitator antara pihak masyarakat dengan lembaga keuangan, khususnya lembaga pengkreditan. Peran lembaga keuangan dalam pengembangannya adalah untuk; pertama, mempersiapkan terciptanya akses atau kesempatan bagi masyarakat dalam memperoleh bantuan. Kedua, mempersiapkan masyarakat lapisan bawah untuk dapat mendayagunakan bantuan tersebut sehingga dapat menjadi modal bagi kegiatan usaha. Ketiga, menanamkan pengertian bahwa bantuan yang diberikan harus dapat menciptakan akumulasi modal dari suplus yang diperoleh dari kegiatan sosial ekonomi.
Selain itu upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan permodalan yang didukung sepenuhnya dengan kegiatan pelatihan yang terintegrasi sejak dari kegiatan penghimpunan modal, penguasaan teknik produksi, pemasaran hasil dan pengelolaan keuntungan usaha.
Pemberian pelayanan permodalan berupa pinjaman harus dapat ditempatkan dalam kerangka yang benar yaitu sebagai suatu injeksi atau suntikan sementara yang harus mampu menciptakan modal bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Proses ini harus diikuti dengan meningkatnya pendapatan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraannya. Surplus ini yang kemudian harus menciptakan tabungan sebagai awal dari pemupukan modal sendiri yang mampu dihimpun oleh masyarakat penerima pinjaman tersebut.
Modal untuk usaha ini berupa bantuan yang diberikan kepada masyarakat yang diharapkan dapat berputar terus di kelompok masyarakat tersebut. Strategi untuk memandirikan masyarakat yang berjiwa koperasi adalah dengan membina, mempersiapkan, mengawasi, dan mendanai semua kegiatan yang dilakukan untuk menjadi besar dengan tetap berpedoman pada profesionalisme dan etika usaha.
Disinilah kehadiran pemerintah menjadi penting untuk memberikan fasilitasi antara masyarakat dengan lembaga keuangan seperti dunia perbankan dan lembaga perkreditan. Eksistensi itu bisa diaplikasikan melalui pemberian surat jaminan maupun rekomendasi yang dapat dipergunakan oleh para pedagang tradisional untuk meminta dana bantuan ataupun kredit.
Agar pemanfaatan dana bergulir dapat lebih dioptimalkan penggunaannya untuk pengembangan masyarakat maka perlu dilakukan pembinaan oleh dinas atau instansi terkait. Dalam rangka masyarakat, ada tiga anasir penting yang seyogianya terlibat atau dilibatkan. Ketiga pihak itu antara lain masyarakat dan pemerintah daerah. Masyarakat patut mengorganisasi diri, bagusnya dalam bentuk organisasi masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat yang fungsinya untuk mengembangkan pengelolaan dan pelayanan kebutuhan masyarakat. Masyarakat selanjutnya dibina dengan tujuan masyarakat memiliki kemampuan dalam hal pengelolaan (manajemen), keuangan. Peran ini akan lebih mudah dijalankan oleh pemerintah daerah jika melibatkan pihak lain seperti swasta, perbankan, perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Melalui konteks itu, pemberdayaan terhadap masyarakat dapat pula dimaknai sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar bagi masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan diluar dirinya sendiri. Kekuatan diluar ini dapat diartikan kekuatan pemerintah, lembaga keuangan seperti dunia perbankan, lembaga swadaya masyarakat dan pasar modern. Pada sisi lain pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan perlindungan, pembelaan dan keberpihakan agar masyarakat tidak terjebak pada terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah.
Melihat kondisi masyarakat yang seringkali ‘kalah’ dalam berbagai aspek, khususnya jika mereka diikutkan dalam konteks persaingan dengan sektor informal lainnya, maka pemerintah seyogianya melakukan upaya pemihakan dan perlindungan. Upaya pemihakan utamanya dilakukan dengan cara-cara menciptakan iklim yang kondusif untuk melakukan kegiatan sosial-ekonomi dan mencegah adanya dominasi dari pihak yang kuat terhadap yang lemah.
Upaya pemihakan kepada kelompok masyarakat berkemampuan lemah perlu dilakukan pada bidang-bidang kebutuhan dasar manusia, kebutuhan ekonomi, dan kebutuhan politik. Sementara itu, perlindungan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menghindarkan kelompok lemah dari ketergantungan dan eksploitasi dari pihak-pihak yang kuat.
Belum ada tanggapan untuk "Pemberdayaan Masyarakat pada Iklim Desentralisasi "
Post a Comment